Zaman semakin canggih, namun penipu juga semakin ahli. Kehadiran tsunami digital memang menguntungkan tapi bisa juga merugikan apalagi jika menyangkut data pribadi yang disalahgunakan.
Pernahkah kaliah mendapat pesan dari nomor tak dikenal, isinya bervariasi namun seringkali mencurigakan. Kita di suruh ini dan itu, akhirnya kita bisa saja terhipnotis lantas menuruti apa yang dikatakan si pengirim pesan. Kejadian seperti ini pernah dialami teman saya, dia disuruh ke ATM lalu disuruh ini dan itu. Begitu selesai semuanya, dia tak sadar 500 ribu saldo di ATM-nya terkuras.
Jurus si penipu ini macam-macam, mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks. Dan ternyata mereka tidak sendirian, umumnya mereka memiliki komplotan, mirip perusahaan saja. Loh, bukannya copet juga ada institusinya? Mereka akan bagi-bagi keuntungan jika aksi mereka berhasil. Sementara jika ketangkap, tamat sudah semuanya, satu dipenjara lainnya ikut-ikutan.
Lantas bagaimana mengidentifikasi penipuan di tengah maraknya belanja daring? Saya akan mencoba menjawabnya berdasarkan pengalaman pribadi dan hasil mengulik sana-sini.
Pertama, hadiah dadakan berupa cachback. Siapa di sini yang pernah mendapat pesan WA yang menyatakan bahwa kita meraih sejumlah nominal hadiah cashback. Lalu kita diberi pilihan, mau ditransfer ke rekening atau ke akun marketplace kita.Â
Saya sendiri pernah mengalami kejadian serupa. Mulanya saya tentu saja senang, namun beberapa detik saya perhatikan, saya justru semakin curiga. Kenapa nomor telepon yang digunakan +1, itu bukan kode negara kita kan?Â
Lantas, di pengirim pesan tidak menyebut nama saya. Meski begitu dia hanya menyebut dirinya dari marketplace resmi di Indonesia. Foto profil si pengirim pun menggunakan logo resmi dari marketplace, siapa yang bakal curiga.
Dan saya mencoba mengerjain si pengirim pesan, seolah-olah saya benar-benar percaya. Namun tiba-tiba si pengirim pesan menelepon saya yang posisinya sedang mengerjakan sesuatu. Karena tidak diangkat, si pengirim mengirim pesan suara. Dan terdengar jelas, ada beberapa orang terdengar sedang menelepon. Kalau begitu, ada banyak dong si penipu tersebut? Asumsi saya benar, mereka berkomplotan.
Wah saya gak kebayang, bagaimana jika yang ditelepon emak-emak kudet, mereka pasti akan percaya begitu saja.
Kedua, paket COD tapi kita tidak pernah memesannya. Kebetulan saya belum mengalami kejadian tersebut, tapi beberapa waktu lalu sempat viral kejadian serupa.
Intinya kita tidak pernah merasa pesan barang yang dibawa kurir (mungkin kurir abal-abal). Namun nama dan alamat yang dituju sama persis dengan nama dan alamat yang biasa kita gunakan untuk berbelanja secara daring.Â
Si kurir memasang wajah melas, karena kita kasihan kita justru membayarnya. Kalau nominalnya tidak besar sih oke-oke saja namun bagaimana jika barang tersebut sangat mahal atau si kurir akan datang terus-menerus mengantarkan paket yang kita sendiri tidak pernah memesannya karena sudah tahu kita target yang mudah diperdaya.
Sebagai konsumen cerdas, kita punya hak untuk menolak membayar COD jika memang kita atau keluarga tidak pernah memesannya. Saya kemudian curiga, si kurir abal-abal ini sengaja menggunakan data kita untuk mengelabui. Mereka bisa jadi mendapatkan informasi data kita dari bungkusan paket yang kita buang ke sampah tanpa mengguntingnya terlebih dahulu.
Atau bisa juga mereka bekerja sama dengan penjual di marketplace untuk membuat COD tipu-tipu. Saya pernah menerima barang yang tidak pernah saya pesan, namun karena si pengirim paket tidak membebani biaya, saya terima saja. Dan ternyata paketan berupa camilan itu adalah kejutan dari rekan kerja. Duh, saya hampir saja berprasangka buruk pada si kurir.
Namun setelah kejadian ada seorang anak memakan sate beracun sianida, saya semakin waspada jika saya menerima makanan atau camilan yang tidak pernah saya pesan. Saya akan menunggu satu jam sambil menunggu konfirmasi dari teman atau rekan.
Ketiga, kode voucher game nyasar. Kalau ini bukan mengatasnamakan marketplace tapi supermarket. Karena kejadian ini pernah saya alami sendiri, saya mencoba membagikannya supaya tidak ada korban.
Jadi, kita tiba-tiba dapat pesan WA bahwa kasir supermarket salah input nomor si pelanggan yang membeli voucher game. Tak lama kemudian muncul SMS berupa kode unik berupa angka dan kata-kata dalam bahasa Thailand.Â
Saya mulanya merasa kasihan, saya hampir saja mengirim balik kode unik itu ke si pengirim pesan WA. Karena apa susahnya mengirim balik kode yang menurut saya tidak begitu penting.
Namun saya mengurungkan niat, saya mencari clue di ulasan google. Dan ternyata, pesan tersebut merupakan modus penipuan. Jika saya mengirimkan balik kode unik tersebut, bisa-bisa ada akun saya (entah marketplace atau uang digital) yang diambil alih. Lantas semua uang elektronik ludes digondol maling daring.
Nah dari ketiga ciri-ciri penipuan ini, semoga kita sebagai konsumen semakin cerdas. Jangan ponsel pintarnya saja yang cerdas tapi juga penggunanya.Â
Di tengah zaman digital ini, maling-maling virtual makin marak dan pintar. Saya pun semakin was-was soal data saya di media, semoga semuanya aman sentosa dan kita dilindungi dari modus-modus serupa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H