Di Indonesia, berusia di atas 25 tahun dan belum menikah kadang dianggap aib. Sementara kalau lihat di negara-negara maju (negara industri) seperti Jepang dan Korsel, justru lazimnya menikah di atas usia 30 tahun bahkan lebih.Â
Mereka fokus membangun karir terlebih dahulu dan tidak ingin terikat dengan yang namanya pernikahan. Intinya sih mereka ingin menikmati kesendirian dulu.
Sementara di Indonesia, pertanyaan-pertanyaan usai lebaran masih terus sama, Mana calonnya? Sudah punya pacar? Kapan menikah? Teman saya lagi nyari pasangan, Kamu mau?Â
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak akan ada habisnya. Saya sendiri sudah menghitung, ada sekitar 10 pertanyaan sama yang ditujukan padaku pada lebaran kali ini. Saya hanya membalas, doakan saja.
Beruntungnya, yang menanyakan pertanyaan itu bukan dari kalangan keluarga tapi dari lingkaran pertemanan dan saudara jauh. Keluarga saya tidak pernah membatasi usia pernikahan. Kakak saya saja yang laki-laki baru menikah di atas usia 32 tahun karena fokus mengurusi yayasan di rumah.Â
Sedangkan kakak perempuan saya baru menikah saat usia mau nyampe 30 tahun karena hobi banget belajar (ilmu agama di pesantren tradisional dan ekonomi di kampus) dan ikut kursus (Jepang, Korea, Arab, dan Inggris).Â
Mereka sudah terbiasa makan pertanyaan-pertanyaan tentang pernikahan. Terlihat tua bukan? Padahal tua dan muda itu soal persepsi belaka. Buktinya, di negara-negara tetangga, mereka rata-rata menikah di usia segitu.
Meski begitu, bukan berarti saya menolak orang yang menikah di bawah usia 30 tahun, itu adalah hak masing-masing kewarganegaraan. Setiap orang berhak punya pilihan dan keputusannya masing-masing.Â
Yang saya tolak adalah mengurusi urusan orang lain (kalau mengurusi sambil mencari solusi untuk membantu sih oke-oke saja).Â
Biarkan orang lain itu menikmati kejombloannya, barangkali dia sedang meniti karir, belum menemukan kecocokan, atau memang sedang ingin sendiri.
Saya sendiri termasuk yang terakhir, saya sedang ingin menikmati kesendirian sampai nantinya menemukan jodoh yang sesuai dan cocok. Tapi kapan yah jodoh yang cocok itu datang?Â
Itulah pertanyaan yang kadang berputar-putar di kepala namun saya tak ambil pusing, saya punya planning dan gol pribadi yang ingin saya capai sebelum menikah. Bukankah kalau sudah menikah, kita akan semakin terbatas ruang geraknya.
Setelah menikah, kapan lagi kita bisa keluar bareng teman sampai malam atau kelayapan ke sana-ke mari tanpa perasaan bersalah.Â
Lantas orang yang sinis kembali menimpali, "Meski jodoh itu di tangan Tuhan, kalau kitanya tidak mencari, bagaimana Tuhan mau mendekatkan jodoh kepada kita?"
Dan saya hanya menjawab, "Bagaimana Kamu tahu, jika saya tidak sedang mencari? Saya pun sedang memantapkan diri biar nantinya lebih matang begitu sudah berkeluarga."
Dia kembali sinis, "Menunggu matang? Keburu tua."
Entahlah, percakapan tentang jodoh ini mirip drama korea, tidak ada habisnya. Siapa yang menjalankan, siapa pula yang mengkhawatirkan.Â
Kemudian ada pula anggapan jika sudah menikah, semua urusan rezeki bakal dijamin Tuhan. Saya bukannya menolak anggapan tersebut, namun sebagai manusia, kadang kita perlu berpikir realistis juga, bukan?
Saya tidak ingin jika nanti menikah, sang istri hanya makan tahu tempe setiap hari. Sang istri kesusahan untuk berobat ke rumah sakit dan lain-lain. Perencanaan finansial keluarga juga penting.
Memang sih, orang yang menikah akan memiliki motivasi lebih tinggi untuk bekerja lebih keras. Sehingga anggapan rezeki orang yang menikah akan dijamin Tuhan kadang ada benarnya juga karena dorongan motivasi itu tadi.
Bayangkan saja, ketika saya belum menikah, saya bekerja hanya untuk memenuhi biaya kebutuhan dan keinginan diri sendiri sementara jika sudah menikah, saya harus memikirkan istri dan anak.Â
Keluarga di rumah pun akan merasa senang jika sang ayah pulang dari kantor membawa seplastik jajan dan makanan dari luar.
Lantas perlukah perjodohan? Kalau ini sih sesuai kebutuhan saja, jika memang belum ingin cepat-cepat menikah kenapa harus pula dijodohkan. Menikah itu soal kesiapan, meski orang kadang meragukan kesiapan yang tidak ada habisnya, bukankah yang bisa menilai kesiapan itu diri sendiri bukan orang lain?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H