Malam takbiran bergema di setiap corong masjid dan musala. Suara mercon beradu bersama lantunan merdu. Langit berwarna-warni meski tidak sepenuh tahun baru Masehi.Â
Dulu, ketika kecil, sebelum salat Maghrib, saya akan langsung menuju ke masjid. Saya melupakan buka puasa terakhir karena ingin menjadi orang pertama yang mengumandangkan takbir. Saya tidak sendiri, anak-anak seusia saya waktu itu sudah memadati masjid dan musala.Â
Lantunan takbir tidak pernah berhenti semalaman. Saya merasa merinding sekali setiap kali malam lebaran tiba. Suasana ramai menghampiri rumah karena rumah saya dijadikan tempat pengumpulan zakat di kampung. Almarhum ayah akan membuka rumah 24 jam non-stop. Khusus malam lebaran, ayah selalu stand by di ruang yang sudah dikosongkan.
Saya mendengar dari kejauhan, tamu tidak pernah berhenti untuk datang. Mereka lebih memilih menyalurkan zakat di malam takbiran sekaligus meminta wejangan kepada ayah.
Di malam takbiran, ayah tidak tidur sementara saya akan tidur sedini mungkin karena besok saya tidak ingin ketinggalan takbiran sebelum Subuh sampai menjelang salat IED.
Setelah salat Subuh, saya akan langsung mandi, bersiap ke musala depan rumah. Saya langsung menyambar baju baru, merasa bangga punya baju baru. Tag di baju sengaja tidak langsung digunting, biar kelihatan baru.
Setelah salat Subuh, saya makan camilan di ruang kosong yang dipakai untuk para tamu. Di sana ibu biasanya menyiapkan kacang rebus (sajian wajib untuk tamu di saat lebaran). Ibu biasanya membeli satu karang kacang tanah, saking banyaknya tamu yang datang. Selain itu, ada biskuit kaleng yang sudah berganti camilan lain karena saya sudah lebih dulu menghabisinya, hehe.
Teman-teman waktu kecil memanggil untuk ke musala bareng. Lari-lari, kejar-kejaran, dan saling pamer baju baru. Di lingkaran pertemanan, hampir semuanya memiliki baju baru. Setelah salat IED, kami akan keliling kampung, mengetuk rumah satu ke rumah lain (meski tidak begitu kenal karena orangnya merupakan perantau yang hanya mudik setahun sekali). Lalu kami akan mendapatkan THR. Senangnya meski jumlahnya tidak besar tapi kami bangga bisa keliling kampung. Dulu belum tahu itu namanya silahturahmi, tahunya maaf-maafan saja.
Lantas bagaimana ketika dewasa?
Entah kenapa, esensi lebaran semakin berkurang maknanya. Entah karena semua teman sudah punya kehidupan masing-masing atau karena ketika dewasa sudah tidak bergairah.
Selain itu, soal baju baru juga kurang begitu bersemangat. Saya malah lebih suka memakai baju lama, memakai baju baru justru bukan di waktu lebaran tapi ketika dapat diskon di luar momen lebaran.
Soal takbiran juga sudah mulai malas, musala dan masjid dipenuhi anak-anak, orang-orang dewasa sudah sibuk dengan ponsel pintarnya termasuk saya, hehe. Eh tapi anak-anak juga takbiran sambil bawa ponsel sih, hehe.
Soal mengetuk pintu rumah ke rumah lain juga berubah. Saya justru malu kalau mengingat masa itu karena saya merasa kalau saya sedang menodong tuan rumah untuk membagi uang THR-nya. Apalagi waktu kecil dulu, kami datang bergerombol. Alhasil orang-orang yang bekerja di kota, mereka akan menyediakan uang pecahan kecil untuk dibagikan anak-anak macam kami dulu.
Jika dulu, setelah agak siangan di hari lebaran, sekeluarga akan pergi ke rumah kakek dan nenek. Saat ini mereka sudah tidak ada sehingga tradisi tersebut sudah hilang. Untuk pergi ke rumah bibi dan paman juga saat ini semakin canggung karena mereka pun sudah memiliki keluarga besar sendiri, sudah punya cucu dan bani-bani baru.
Biasanya, setelah lebaran, konser dangdut akan bergilir di mana-mana. Saat ini, tentu saja tidak serame dulu meskipun masih ada satu-dua yang colong-colong mengadakan konser.
Entahlah, antusias lebaran semakin dewasa semakin berkurang. Lebaran di waktu dewasa hanya fokus memantapkan hati ketika ditanya tetangga, saudara, atau kawan tentang kapan nikah, di mana bekerja, dan pertanyaan privasi lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H