Selain itu, soal baju baru juga kurang begitu bersemangat. Saya malah lebih suka memakai baju lama, memakai baju baru justru bukan di waktu lebaran tapi ketika dapat diskon di luar momen lebaran.
Soal takbiran juga sudah mulai malas, musala dan masjid dipenuhi anak-anak, orang-orang dewasa sudah sibuk dengan ponsel pintarnya termasuk saya, hehe. Eh tapi anak-anak juga takbiran sambil bawa ponsel sih, hehe.
Soal mengetuk pintu rumah ke rumah lain juga berubah. Saya justru malu kalau mengingat masa itu karena saya merasa kalau saya sedang menodong tuan rumah untuk membagi uang THR-nya. Apalagi waktu kecil dulu, kami datang bergerombol. Alhasil orang-orang yang bekerja di kota, mereka akan menyediakan uang pecahan kecil untuk dibagikan anak-anak macam kami dulu.
Jika dulu, setelah agak siangan di hari lebaran, sekeluarga akan pergi ke rumah kakek dan nenek. Saat ini mereka sudah tidak ada sehingga tradisi tersebut sudah hilang. Untuk pergi ke rumah bibi dan paman juga saat ini semakin canggung karena mereka pun sudah memiliki keluarga besar sendiri, sudah punya cucu dan bani-bani baru.
Biasanya, setelah lebaran, konser dangdut akan bergilir di mana-mana. Saat ini, tentu saja tidak serame dulu meskipun masih ada satu-dua yang colong-colong mengadakan konser.
Entahlah, antusias lebaran semakin dewasa semakin berkurang. Lebaran di waktu dewasa hanya fokus memantapkan hati ketika ditanya tetangga, saudara, atau kawan tentang kapan nikah, di mana bekerja, dan pertanyaan privasi lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H