Mohon tunggu...
Musa Hasyim
Musa Hasyim Mohon Tunggu... Penulis - M Musa Hasyim

Dosen Hubungan Internasional Universitas Jenderal Soedirman

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Sound of Borobudur: Bahasa Universal Sebelum Eranya Google Translate dan Cara Kita Melestarikannya

11 Mei 2021   21:06 Diperbarui: 11 Mei 2021   21:12 2076
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pahatan berupa alat musik lengkap dari seluruh penjuru dunia dan nusantara. Sumber: japungnusantara.org

Apa yang kalian lakukan jika bertemu orang asing dan tidak tahu bahasa ibu mereka? Tentu kita akan kesulitan mengungkapkan apa yang ingin kita utarakan. Alhasil kita menggunakan bahasa isyarat baik dengan tangan maupun wajah.

Mungkin di zaman serba digital seperti ini, kesulitan tersebut bisa sedikit diatasi hanya dengan membuka ponsel pintar lalu mengeklik aplikasi Google Translate dan semacamnya. Semua beres berkat teknologi yang semakin canggih.

Namun saya membayangkan, bagaimana nenek moyang kita berkomunikasi sementara Google Translate saat itu belum ditemukan.

Menurut Badan Bahasa Kemendikbud, setidaknya ada 718 bahasa daerah di seluruh Indonesia, belum termasuk dialek dan subdialek. Ini juga belum termasuk bahasa dari seluruh dunia apalagi bangsa kita terkenal dengan sebutan pelaut ulungnya, yang pasti mereka sering menemui orang-orang baru di seluruh penjuru dunia baik untuk berdagang atau sekadar berpetualang.

Bahasa Indonesia sebagai bahasa penyatu pun belum diikrarkan bersama sehingga penduduk Indonesia zaman dulu pasti menggunakan bahasa daerah mereka masing-masing, belum ketika mereka harus mengobrol dengan penduduk dari benua lain misalnya. Saya membayangkan betapa repotnya mereka.

Saya kemudian menemukan fakta mencenggangkan bahwa musik merupakan bahasa yang digunakan untuk menyampaikan ide dan aspirasi tersebut. Hal ini bisa dilihat dari pahatan berupa alat-alat musik di beberapa panel relief Candi Borobudur pada sekitar abad ke-8.

Lalu kenapa harus musik? Kenapa bukan pertunjukkan pantomim saja misalnya?

Musik sebagai Bahasa Universal

Saya pun jadi teringat akan aksi John Shepherd, seorang maniak Unidentified Flying Object (UFO) atau bahasa kerennya alien. Aksi John ini bisa dilihat dalam film dokumenter di kanal Netflix berjudul John Was Trying to Contact Aliens.

John, pria asal Michigan Utara Amerika Serikat ini membangun peralatan elektronik modern di rumahnya untuk memanggil alien di luar angkasa sana. Kecintaannya terhadap objek di luar angkasa membuat John sering disindir dan dihujat oleh warga dunia. John tidak patah arang, dia menggunakan seribu satu cara untuk mewujudkan mimpi sederhananya itu.

Nah, salah satu cara John adalah dengan mengirim musik untuk mengontak objek asing di luar angkasa sana seperti jaz, elektronik, kraftwerk, harmonia, reggae, afro beat, dan gamelan (musik asal Indonesia yang paling disukai John).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun