Pada sore itu, selepas berjumpa dengan kawan lama, saya sengaja mampir ke toko buku Gramedia. Tujuan saya satu, mencari buku karya Paulo Coelho. Meski pada akhirnya saya juga membeli buku lainnya.Â
Sebelumnya saya sudah membaca buku lama Paulo berjudul Sang Alkemis. Buku itu sangat menghipnotisku akan tujuan hidup dengan gaya bertutur kisah yang unik.
Tak puas dengan satu buku saja, saya akhirnya mencoba mencari karya lainnya yang katanya juga fenomenal.
Tak dinyaya, tanganku menuju ke sebuah rak. Aku langsung mengambil buku dengan sampul seorang wanita yang sedang menatap ke atas dengan judul Sang Penyihir dari Portobello. Ini pasti sarat akan makna kehidupan seperti Sang Alkemis, pikir saya.
Apalagi setelah membaca sinopsis di belakang buku, dengan sebuah tanda tanya: Bagaimana menemukan keberanian untuk senantiasa jujur pada diri sendiri, bahkan pada saat kita tak yakin akan diri kita?
Jleb! Pertanyaan itu menusuk hatiku, menyindirku. Aku tahu betul, bahwa akhir-akhir ini saya kadang merasa tidak menemukan keberanian. Buku ini pasti sangat cocok untuk diriku.
Aku tak sabar membaca kata demi kata dari buku cetakan ketujuh itu. Buku itu menceritakan tentang Athena (bukan nama sebenarnya) yang diadopsi oleh keluarga cukup berada dari Lebanon kemudian pindah ke United Kingdom karena tanah air mereka sedang diguncang perang saudara.Â
Cara tutur kisah Paulo sangat unik, Paulo ingin menggambarkan sosok Athena dari sudut pandang orang-orang terdekatnya. Ceritanya memang unik dan mengalir. Kita akan terus dibuat penasaran dengan kisah pergumpalan batin Athena yang memiliki banyak keinginan dan selalu merasa kurang puas dan selalu ingin mencari sebuah makna dari hidup.
Di mulai dari percintaanya dengan seorang mahasiswa calon arsitektur, Lukas. Athena menikah di usia yang sangat muda (19 tahun) sampai orang tua Lukas tidak merestui hubungan mereka. Lukas putus kuliah demi bisa hidup bersama Athena. Lukas menguburkan mimpinya untuk menjadi seorang arsitektur apalagi Viorel, anak mereka lahir ke dunia.
Mental pernikahan di sini hampir sama dengan pernikahan dini lainnya di mana keduanya belum begitu siap untuk menjalani bahtera rumah tangga. Athena pun orangnya sangat filsuf sekali, terbukti dari gaya berpikirnya yang cukup tinggi dari orang-orang pada umumnya. Akhirnya setelah ada drama di antara mereka, mereka memilih berpisah. Lukas kembali ke orangtuanya. Sementara Viorel diasuh oleh Athena.
Perjalanan Athena tidak berhenti sampai di situ. Dia juga ingin mencari ibu kandungnya di sebuah daerah di Rumania. Ada juga kisah Athena berkelana ke Dubai setelah dipercaya manajer Bank tempatnya bekerja.
Banyak rentetan kejadian yang menarik namun sulit untuk kutangkap alurnya. Mungkin karena efek terjemahan atau karena saya yang kurang sedikit teliti membacanya.
Meski sulit kutangkap alur ceritanya apalagi banyak sekali tokoh di dalamnya, namun saya berhasil meresapi pencarian jati diri Athena untuk tetap hidup, Tuhan yang Maha Kasih dan tarian di tengah pergolakan batin Athena.
Apa hubungannya dengan tarian? Yah, di sini sisi magisnya menurut saya. Athena begitu meresapi tarian dengan musik religi. Athena seorang Nasrani taat. Ia dipercaya membawa aura positif. Ia juga dipercaya orang-orang untuk mengajarinya tarian itu. Sebuah tarian kepasrahan kepada Tuhan.
Gerakan demi gerakan dan filosofi tarian dari Athena telah menghipnotis saya bahwa ada sesuatu di luar kendali kita bahwa seorang tukang baja saja tahu akan hal itu. Ia memukul baja dengan gerakan yang pasti ada perbedaan tekanan meski dilakukan berulang-ulang setiap hari. Ada kerja angin dan pikiran yang melayang di otak yang mana membuat gerakan si tukang baja berbeda.
Ini sama dengan aktivitas manusia di dunia ini.
Meski kegiatan kita dirasa membosankan setiap hari karena itu-itu saja, kita sering lupa bahwa setiap langkah dan gerakan kita menyimpan perbedaan setiap detiknya karena kerja otak pikiran kita tidaklah sama.Â
Sebenarnya ada banyak sekali hikmah dari buku Paulo Coelho ini, ia berbicara juga soal cinta, gairah, sukacita dan pengorbanan.
Namun lagi-lagi saya kurang menikmati alurnya, berbeda dengan ketika saya membaca Sang Alkemis. Saya menikmati setiap alur dan pesan yang terkandung di dalamnya. Meski begitu, Sang Penyihir dari Portobello membuat saya yakin bahwa Tuhan selalu punya caraNya untuk membuat hidup kita jauh lebih bermakna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H