Bukan Ruhut Sitompul namanya jika tidak membuat pernyataan heboh nan kontoversial. Kali ini ketika saya tidak sengaja membuka akun twitter miliknya, saya dibuat heboh oleh cuitannya.
Jangan ajari Ikan berenang, ungkapan yg paling tepat utk yg berseberangan dgn Menteri Agama RI Jenderal Purn Fachrul Razi Eks Wapangab TNI, maju terusssssss Menteri yg membidangi semua Agama di Indonesia itu Bapak jadi ambil saja saran yg baik menuju Indonesia Maju MERDEKA.
Siapa juga yang mau capek-capek mengajari ikan berenang. Itu sudah kodratnya ikan berenang. Mungkin kalau mau mengajar, ajarilah jari-jari netizen yang kebablasan menyuarakan pendapat atau netizen yang suka membully atas dasar merasa paling benar.
Saya tidak akan menyebut secara langsung, apakah cuitan Ruhut ini adalah salah satu bagian dari pendapat atau hanya ingin meraih popularitas semata.
Di negeri yang katanya menunjung tinggi nilai-nilai demokrasi ini, harusnya kita bebas menyuarakan pendapat, bukan? Termasuk Ruhut yang diberikan ruang selebar-lebarnya di media sosial. Iya, bebas, tapi kadang kebebasan itu direnggut oleh sebagian kelompok yang duduk di atas dengan dalih UU ITE.
Kembali ke cuitan Ruhut, Menag Jenderal Purn Fachrul Razi, memang sedang dirundung segudang permasalahan soal sertifikasi dai atau penceramah. Hal ini dilakukan untuk menghindari dari serbuan paham radikalisme dan ekstremisme di Indonesia oleh para oknum penceramah tidak bertanggung jawab.
Namun apakah sertifikasi dai atau penceramah adalah hal mutlak yang urgensinya sudah sangat mendadak? Saya kira saat ini kita perlu membenahi dulu soal ekonomi rakyat akibat pandemi.
Dai atau ustaz yang mengajar dengan tulus ikhlas pun butuh makan di tengah pandemi seperti ini.
Mereka boro-boro memikirkan sertifikasi, sudah banyak jam panggung ditutup karena berceramah di khalayak ramai masih dilarang untuk menghentikan penyebaran Covid-19. Tapi namanya dai atau ustaz yang tulus ikhlas, pasti akan bertawakal dengan Yang Maha Kuasa dengan mencoba usaha lain yang halal dan barokah.
Dan apakah mengomentari perihal usulan sertifikasi dai atau penceramah dari Menag adalah sebuah kesalahan? Sampai-sampai kita yang mengomentari atau bersebrangan dengan Menag diibaratkan sedang mengajari ikan untuk berenang, itu sama saja menganggap tindakan kita sebuah kebodohan.
Itu baru satu perihal kebijakan Menag, karena pasti ada banyak kebijakan lainnya dari Menag. Dan apakah yang bersebarangan dengan semua kebijakannya juga disuruh mengajari ikan bernenang?
Kegaduhan di media sosial sepertinya tidak akan berhenti, padahal pandemi sudah meluluhlantakkan sendi-sendi perekonomian. Lalu apakah bijak mencuitkan sesuatu tanpa memikirkan dampaknya kedepan?
Apalagi bagi seorang influencer dengan jumlah pengikut jutaan. Seberapa besar dampak yang akan dihadapinya, pasti lebih banyak ketimbang influencer yang masih mentok puluhan atau ratusan ribu pengikut.
Ruhut Sitompul sendiri memiliki 2 jutaan pengikut di Twitter di mana hampir semua cuitannya selalu mengundang orang untuk berkomentar atau menyanggahnya.
Maka tak heran jika banyak yang mengatakan Ruhut sebagai penjilat atau pendukung fanatik rezim yang berkuasa.
Seolah-olah semua kebijakan pemerintah itu selalu benar. Tak ada cacatnya dan tak ada yang perlu dikoreksi bersama.
Beruntungnya di Indonesia masih ada media yang bisa mengkonter justifikasi pembenaran-pembenaran yang dilakukan oleh para influencer.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H