Rakyat internet sering sepakat soal pemberantasan korupsi. Mereka selalu menolak segala bentuk pelemahan terhadap institusi independen KPK termasuk hukuman ringan terhadap pelaku penyiraman air keras Novel Baswedan.
Bukan terdakwa yang disorot bersama, melainkan jaksa penuntut umumnya. Yah, jaksa bernama Fedrik Adhar ini memberi hukuman ringan kepada dua pelaku penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan karena dianggap gak sengaja.
Bayangkan saja, subuh-subuh buta si terdakwa bangun hanya untuk menyiram air keras kepada Novel Baswedan yang baru pulang dari menunaikan ibadah salat Subuh di masjid komplek. Logikanya tentu tidak mungkin tidak sengaja karena banyak unsur kesengajaan yang dapat dibaca oleh murid SD sekalipun.
Di hari kemerdekaan RI (17/8), jaksa Fedrik Adhar dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Netizen yang mengetahui kabar tersebut lewat media sosial dan berita daring mengekpresikannya secara berbeda-beda.
Namun banyak netizen yang belum lupa soal pernyataan "gak sengaja" itu. Padahal saya sendiri awalnya tidak ngeh kalau jaksa Fedrik Adhar ini yang menuntut hukuman ringan terhadap terdakwa penyiraman air keras Novel Baswedan.
Saya baru tahu setelah membaca beritanya. Saya terkejut melihat beberapa ekspresi dari netizen-netizen maha benar ini.
Pertama, dianggap konspirasi. Kenapa setiap ada peristiwa selalu ada kata konspirasi? Apa tidak lelah dengan kata "konspirasi"?
Barangkali term konspirasi ini buntut dari kecewanya masyarakat terhadap ketidakadilan di dunia ini. Dan meninggalnya Fedrik Adhar pun dianggap konspirasi.
Ada yang beranggapan bahwa terdapat orang yang bermain-main atas kematian jaksa Fedrik supaya kasus Novel Baswedan tidak diungkit-ungkit lagi. Logika macam apa itu!
Kalau melihat berita sudah begitu jelas bahwa jaksa Fedrik Adhar meninggal karena penyakit komplikasi. Sempat di rawat di sebuah rumah sakit namun takdir berkata lain. Apa iya, penyakit komplikasi juga bagian dari cerita konspirasi itu?
Meskipun saya kurang setuju dengan pernyataan Fedrik Adhar soal "gak sengaja" sebelumnya, saya tidak akan langsung menjustifikasi konspirasi-konspirasi lagi sebagai landasan berpikir sebelum ada bukti jelas yang mengarah ke sana.
Kedua, karma. Setiap perbuatan akan selalu berkaitan dengan hukum sebab-akibat, itulah definisi karma.
Perbuatan manusia ketika hidup di dunia ini memang sadar-tidak sadar selalu berkaitan satu sama lain. Jika sebelumnya kita selalu menyakiti hewan, bisa jadi suatu saat kita akan disakiti oleh hewan.
Tapi bukan berarti kita bersikap seolah-olah kita adalah Tuhan yang memberikan hukuman. Cukup bagi Tuhan saja yang berhak apakah seseorang itu mendapat karma atau tidak. Sebagai manusia, kita hanya bisa mengambil hikmah yang ada.
Pun dengan kematian jaksa Fedrik Adhar. Kita sebagai manusia biasa, tak elok mengatakan jika jaksa Fedrik Adhar mendapatkan karma karena berlaku tidak adil. Kalau memang demikian adanya, cukup pengadilan Tuhan saja yang bekerja di akhirat kelak.
Ketiga, "gak sengaja" corona. Meninggal di masa-masa pandemi ini memang mudah dilabeli corona meskipun bukan itu penyebab utama meninggalnya seseorang.
Dan yang namanya meninggal, pastilah tidak sengaja. Kalau meninggal disengaja itu artinya meninggal karena dibunuh, balik lagi ke poin satu terkait konspirasi jika skenarionya disengaja.
Jaksa Fedrik Adhar ini mulanya belum dikonfirmasi terkena Covid-19. Namun belakangan ada sebuah berita yang mengatakan bahwa Fedrik Adhar terkena Covid-19 lalu ditambah penyakit komplikasi yang diderita.
Kendati terkena Covid-19, itu sudah menjadi sebuah "resiko" bukan "gak sengaja" karena term "gak sengaja" seolah-olah negatif. Apalagi tuntutan pekerjaan jaksa yang mengharuskan bertemu orang baru setiap harinya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI