Mohon tunggu...
Musa Hasyim
Musa Hasyim Mohon Tunggu... Penulis - M Musa Hasyim

Dosen Hubungan Internasional Universitas Jenderal Soedirman

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenang Ribuan Awardee Beasiswa RI yang Tidak Kembali Pasca Studi, Beda Zaman Beda Cerita

16 Agustus 2020   21:13 Diperbarui: 16 Agustus 2020   21:25 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Veronica Koman, sumber: kompas.com

Kata siapa awardee yang dibiayai pemerintah untuk studi di luar negeri lalu tidak kembali ke Indonesia hanya terjadi di abad 21. Mungkin ini karena efek dari viralnya kasus Veronica Koman dan beberapa awardee beasiswa LPDP lainnya yang tidak kembali ke Indonesia pasca studi.

Veronica Koman pun dituntut oleh LPDP untuk mengembalikan uang senilai ratusan juta yang sudah pemerintah kucurkan hingga VL menyandang gelar master hukum di negeri kanguru.

VL tidak sendiri, ada puluhan awardee LPDP lainnya yang terlanjur betah berlama-lama di negeri orang dengan segala kemudahan dalam mencari pekerjaan. Barangkali pekerjaan adalah alasan mereka memilih menetap di negeri orang.

Padahal jauh sebelum abad 21, ada banyak awardee yang dibiayai oleh Pemri untuk berkuliah di luar negeri namun juga tidak kembali mengabdi untuk negeri pertiwi. Mereka justru bekerja, menikah bahkan sampai meninggal dikuburkan di tanah orang lain.

Tapi awardee di abad 20 ini berbeda dengan awardee di abad 21. Lantas apa bedanya, bukankah mereka sama-sama lari dari tanggung jawab dan mereka pun mengabaikan surat kontrak perjanjian yang menjelaskan bahwa mereka harus kembali mengabdi ke Indonesia setelah studinya selesai.

Beda zaman, beda pula ceritanya. Berikut perbedaanya:

Pertama, awardee di abad 20 yang menimba ilmu dibiayai oleh pemerintah tapi bukan LPDP. LPDP merupakan lembaga yang termasuk baru di Indonesia. LPDP baru dibentuk pada Desember 2011 di bawah naungan Kementerian Keuangan.

Awardee di abad 20 ini bermacam-macam jenisnya, namun yang paling disoroti adalah penerima beasiswa dari pemerintah Soekarno. 

Ketika Indonesia belum lama merdeka, Indonesia membutuhkan tenaga ahli untuk pembangunan negeri di segala aspek. Para awardee ini pun dikirim ke beberapa negara tetangga. Ada yang mempelajari teknik, kedokteran, sosial dan budaya, dan cabang ilmu lainnya.

Mereka termasuk mahasiswa ikatan dinas yang nantinya diwajibkan kembali ke Indonesia setelah lulus.

Kedua, awardee di abad 20 ini malah dicabut kewarganegaraannya oleh pemerintahnya sendiri karena diduga terlibat gerakan politik kiri.

Berbeda dengan awadee di abad 21 yang ikut gerakan politik kemerdekaan Papua, dan padahal pemerintah masih baik hati tidak mencabut status kewarganegaraannya. Siapa lagi kalau bukan VK, meski masih simpang siur namun beberapa foto dirinya yang bersandingan dengan tokoh Papua gerakan merdeka sudah cukup menjelaskan.

Lalu kenapa awardee di abad 20 tidak boleh pulang oleh pemerintah Indonesia? Bukankah mereka adalah bibit-bibit unggul. Pun mereka sudah menandatangi surat perjanjian untuk kembali selepas studi. Dan tidak murah juga untuk membiayai studi serta biaya hidup di negeri orang.

Semua ini disebabkan oleh kekhawatiran yang berlebihan dari rezim Soeharto. Karena awardee di abad 20 ini adalah awardee di zaman peralihan Soekarno, mereka diduga kuat berbahaya dan mengancam ideologi Pancasila.

Dari sinilah, banyak paspor awardee yang dicabut. Mereka tidak bisa kembali ke Indonesia. Apalagi bertepatan dengan peristiwa G30S.

Rezim Soeharto takut dengan mahasiswa-mahasiswa yang dianggap orang Bung Karno. Akhirnya mereka menetap di luar negeri, menikah, bekerja sampai menutup mata di negeri orang.

Di negeri sendiri, pintu tertutup. Mereka tidak bisa kembali. Inilah yang banyak disesali di era Orde Baru, pasalnya awardee yang menimba ilmu di beberapa negara di Eropa ini tidaklah sedikit.

Kemudian di era Gus Dur, mereka diimbau untuk pulang ke Indonesia sesuai dengan Inpres Nomor 1 Tahun 2000 tentang pencekalan orang-orang Indonesia termasuk awardee yang berada di luar negeri dan terhalang pulang ke Tanah Air sejak terjadinya Peristiwa G30S.

Namun mereka sudah terlanjur beranak pinak dan memiliki tempat tinggal di sana. Padahal kalau ditelisik lebih jauh, banyak awardee yang dibiayai oleh rezim Soekarno berhasil menduduki jabatan penting di berbagai perusahaan internasional di luar negeri. Kalau saja mereka tidak dilarang pulang, pasti negeri ini akan lebih cemerlang.

Pun tujuan mereka ke luar negeri mulanya adalah murni untuk menimba ilmu, bukan ikut gerakan politik seperti yang dikhawatirkan oleh rezim Soeharto.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun