Kedua, penerimaan diri. Seringkali kita menolak menerima keputusan yang Tuhan berikan. Saya bukannya tidak mendukung gap year karena ditolak PTN namun penerimaan diri itulah yang membuat hati kita tenang, entah mau gap year, lanjut swasta, atau bekerja.
Kampus dan pilihan program studi ini ibarat jodoh. Tuhan pasti tahu mana jodoh terbaik kita selama kita tak lelah untuk berdoa dan berusaha.
Ketika saya ditolak jalur SNMPTN undangan, air mata langsung mengalir. Saya mengurung diri seharian. Saya lupa masih ada jalur SBMPTN dan jalur-jalur mandiri lainnya. Saya sendiri telah mencoba tujuh kali jalur masuk, dan dua di antaranya menerima saya.
Berbeda dengan adik saya, yang bersikap biasa saja ketika ditolak 6 jalur masuk PTN sampai akhirnya memilih gap year dengan kursus bahasa Inggris di Pare. Itung-itung menambah wawasan dan persiapan masuk PTN di tahun berikutnya.
Di tahun berikutnya, adikku pun diterima di PTN.
Hidup ini memang pilihan. Mau gap year, lanjut swasta, atau bekerja adalah pilihan yang tidak salah. Yang salah adalah tidak mau menerima takdir. Yang ada malah kita selalu menyalahkan diri sendiri atas kegagalan-kegagalan itu.
Ketiga, kehidupan pasca kampus yang sering dilupakan. Selama ini mereka yang diterima di PTN merasa bahwa masa depannya akan terang benderang. Padahal setelah lulus kuliah, kita masih harus berjuang dengan rentetan cobaan.
Kita juga harus menerima kenyataan bahwa mencari kerja itu tidak semudah mengembalikkan telapak tangan. Kita boleh saja merayakan kelulusan karena diterima masuk PTN namun jangan sampai berlebihan. Apalagi dengan pamer screenshot hasil pengumuman di media sosial, bagaimana dengan temanmu yang gagal? Cukup Tuhan, kamu, sahabat terbaikmu, gurumu dan keluargamu yang tahu.
Euforia masuk PTN menurutku itu hanya berada di tahun-tahun pertama kuliah. Di masa-masa akhir di PTN, tampaknya biasa-biasa saja. Toh jas almamater tidak mungkin kita pakai terus-menerus.
Ketika saya kerja pun demikian. Kawan-kawan satu perusahaan dengan saya berasal dari latar belakang universitas yang berbeda, ada yang negeri dan ada pula yang swasta. Ketika ada kawan kerja dari universitas beken pun kita merasa biasa saja.
Setelah saya resign kerja karena melanjutkan S 2 di Universitas Indonesia dengan beasiswa LPDP, saya pun merasa biasa-biasa saja. Euforia tidak seheboh waktu S 1 dulu. Hidup ini soal "kamu" karena kamu yang menjalankan hidup, bukan "PTN".