Kemampuan Gilang merangkai kata-kata dengan sedikit intimidasi dan paksaan membuat korban akhirnya mau tidak mau menuruti apa yang Gilang perintahkan. Ia selalu mencoba meyakinkan bahwa penelitiannya itu rumit, tak mungkin dipahami oleh si Maba. Dengan kemampuan ngalor-ngidul itu, Gilang mendapatkan korbannya.
Kedua, mahasiswa FIB tapi kok penelitiannya seperti bidang psikologi? Ini yang menjadi kerancauan. Dan apakah mahasiswa FIB meneliti bungkus-membungkus atau lakban-melakban. Apakah ada budaya seperti itu yang masuk akal?
Barangkali kalau si Gilang ini mahasiswa arkeologi mungkin masih agak wajar, misalnya pembungkusan mumi zaman dulu. Tapi yang membuat tidak masuk akal justru lakbannya itu. Apa zaman dulu ada mumi yang dilakban?
Si korban mungkin sebenarnya sudah merasa curiga dan aneh dengan topik penelitian kakak tingkatnya itu namun karena lagi-lagi kembali ke asas junior yang merasa sungkan pada senior maka apa saja dituruti olehnya.
Ketiga, Gilang yang ada kelainan? Poin ketiga ini masih diusut tuntas oleh pihak kepolisian. Tapi jika melihat aksinya selama ini, si Gilang sepertinya kemungkinan besar memang ada penyakit menyimpangnya.
Lah bagaiamana tidak menyimpang jika kata salah satu korban mengatakan bahwa korban fetish Gilang ini lebih dari 20 orang. Pun ketika Gilang ketahuan bahwa perintahnya itu bukan bagian dari riset si Gilang enggan menjawabnya.
Terlepas dari siapa itu Gilang dan apa latar belakangnya, yang perlu diperhatikan adalah si korban yang mungkin masih mengalami trauma manakala foto atau videonya dijadikan objek fetish si predator.
Lembaga bantuan hukum perlu memberikan bantuan psikologis untuk para korban. Apalagi jika si korban adalah Maba. Bagaimana jika setelah pandemi reda, si korban takut ke kampus, takut bertemu Gilang-Gilang lainnya? Tentu saja kita semua tidak ingin itu semua terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H