Mohon tunggu...
Musa Hasyim
Musa Hasyim Mohon Tunggu... Penulis - M Musa Hasyim

Dosen Hubungan Internasional Universitas Jenderal Soedirman

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa di Zaman Golden Age of Islam Tidak Ada Cendekiawan Wanita?

15 Juni 2020   22:25 Diperbarui: 15 Juni 2020   22:36 2277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kejayaan ilmu pengetahuan di zaman the golden age, sumber: redaksiindonesia.com

Zaman kejayaan Islam atau the golden age of Islam berlangsung cukup lama yakni mulai ke-9 sampai permulaan abad 12. Di zaman itu, Dinasti Abbasiyah mengambil alih sebagian besar wilayah Timur Tengah sampai Asia Tengah.

Kenapa dianggap zaman kejayaan? Karena di zaman itu bermunculan banyak ilmuwan terkenal di berbagai bidang keilmuan mulai dari Kedokteran, Matematika, Sains, Geografi, Kimia, Filsafat, Sastra, dan Sosial.

Ulama cendekiawan yang dikenal sampai sekarang ada Abu Ali al-Hasan ibn al-Haytham dikenal Alhazen, Abu Rayham Muhammad al-Biruni, Abu Ali al-Hussein Ibn Sina dikenal juga Avicenna, Abul-Walid Muhammad Ibn Rushd dikenal Averroes dan masih banyak lagi lainnya.

Mereka bisa produktif dalam khazanah ilmu pengetahuan karena dedikasi pemimpin mereka yang sangat peduli terhadap pentingnya ilmu pengetahuan bagi sebuah peradaban. Adalah Khalifah Al Ma'mun, yang pada abad ke-9 mendirikan Baitul Hikmah atau House of Wisdom. Di dalam Baitul Hikmah terdapat berbagai macam labortorium, perpustakaan canggih, dan lembaga penelitian mumpuni. 

Mereka juga menggunakan sumber-sumber kuno dari peninggalan Yunani sebelumnya sebagai salah satu acuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang terus berjalan seiring berjalannya waktu.

Dari tangan pemimpin-pemimpin inilah, Alhazen bereksperimen tentang cahaya dan visi yang meletakkan dasar tentang optik modern. Alhazen setara dengan Newton, Archimedes, Kepler (matematikawan terkenal) pada masanya.

Matematikawan, Astronom dan ahli geografi, Al Biruni menulis 146 karya dengan 13.000 halaman tentang sosiologi dan geografi di India. Ibnu Sina, seorang dokter dan filsuf yang menyusun satu juta kata ensiklopedi kedokteran, Canons of Medicine. Buku tersebut dipakai di Barat sebagai buku wajib sampai abad 17. Pun masih menjadi penganggan sampai kini.

Dari semua ulama cendekiawan yang ada, tak ada satupun yang berjenis kelamin perempuan. Kenapa ini bisa terjadi?

Pertama, budaya patriarki yang diwariskan sejak masa Dinasti Ummayah. Budaya patriarki yang menganggap derajat perempuan berada jauh di bawah kaum lelaki ini semakin memuncak ketika dunia Islam kehilangan sosok teladan Nabi Muhammad.

Padahal Aisyah, istri Nabi Muhammad termasuk cendekiawan dan politikus wanita dalam sejarah peradaban Islam. Bahkan Aisyah memimpin Perang Unta dalam aksi menuntut keadilan kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib atas terbunuhnya Khalifah sebelumnya, Utsman bin Affan di Basra.

Semenjak aksi tersebut, peran perempuan semakin tergeserkan di masa Dinasti Ummayah atau masa setelah Khalifaur Rasyidin. Rumah-rumah dibangun dengan pagar yang tinggi agar perempuan tidak banyak bersinggungan dengan laki-laki di luar rumah. Perempuan mendapat penjagaan ketat dari keluarga mereka agar terhindar dari fitnah. Hal ini diteruskan sampai masa setelahnya, atau pada masa Dinasti Abbasiyah.

Dengan warisan budaya patriarki ini, golden age di masa Abbasiyah tidak mampu menempatkan perempuan-perempuan hebat di belantara perkembangan ilmu pengetahuan.

Kebanyakan perempuan berbakat justru dilatih untuk bernyanyi, bermusik, menari dan bersyair. Mereka pun menghibur para tentara dan anggota kerajaan setiap ada festival yang diadakan sultan maupun gubernur.

Menurut Philip K.Hitti dalam  History of The Arabs, Baghdad sebagai ibukota baru di masa Abbasiyah setelah pada masa Ummayah beribukota di Damaskus menjadi kota megah dan sibuk. Pesta dan festival sampai subuh sering diselenggarakan oleh pemerintah yang berkuasa. Sebuah hal baru yang tidak ada di zaman Nabi Muhammad ataupun masa Khulafaur Rasyidin.

Kedua, penguasa yang tidak pro terhadap kontribusi kaum hawa. Kebijakan-kebijakan penguasa yang lebih condong pada lelaki membuat profesi-profesi bagi perempuan sangat terbatas.

Anggapan ini masih berkaitan dengan poin pertama di mana perempuan sulit mendapatkan tempat di muka umum. Boro-boro untuk menjadi tentara, untuk sekedar bekerja di pemerintahan saja agak susah.

Menurut Keddie dalam bukunya Women in the Middle East: Past And Present, perempuan di masa setelah Dinasti Abbasiyah atau  tepatnya di zaman Turki Utsmani, para perempuan lebih banyak mendapatkan tempat di mana perempuan diizinkan bergabung di dunia ketentaraan, boleh menunggang kuda, dan bekerja atau menduduki jabatan presitius di Istana.

Hal ini dikarenakan si pembuat kebijakan atau si pemimpin yang lebih terbuka terhadap kaum perempuan. Sama seperti yang dialami oleh Arab Saudi di mana di bawah kendali Muhammad Bin Salman (MBS), sang putra mahkota membuat kebijakan baru yang lebih melonggarkan hak perempuan di luar.

Perempuan Arab Saudi saat ini pun sudah dapat mengemudikan mobilnya sendiri, menonton di bioskop, menonton konser, sampai bekerja apapun termasuk menjadi ilmuwan.

Mungkin jika Golden Age of Islam terjadi di masa sekarang di Timur Tengah, barangkali akan bermunculan banyak cendekiawan perempuan yang hadir di tengah-tengah kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun