Mohon tunggu...
Musa Hasyim
Musa Hasyim Mohon Tunggu... Penulis - M Musa Hasyim

Dosen Hubungan Internasional Universitas Jenderal Soedirman

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Misteri Puzzle di Balik Keringanan Tuntutan Pelaku Penyerangan Novel Baswedan

12 Juni 2020   22:46 Diperbarui: 13 Juni 2020   16:03 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kondisi mata Novel Baswedan setelah disiram asam sulfat, sumber: kompas.com/Tatang Guritno

Banyak yang kesal dengan ringannya tuntutan hukum bagi pelaku penyerangan Novel Baswedan. Bagaimana bisa, kejahatan yang menyebabkan kerusakan permanen itu dituntut cuman setahun kurungan penjara saja?

Bagaimana perasaan Novel Baswedan yang mana mata kirinya tidak berfungsi normal lagi seumur hidup. Belum lagi rasa trauma yang pasti masih membekas. Betapa tidak jengkel!

Maka tak heran jika Novel Baswedan menyatakan bahwa hukum di negeri kita masih compang-camping. Masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas.

Lihat saja, kilas balik pengungkapan kasus penyerangan tersebut yang terbilang lamban sampai berulang tahun berkali-kali seperti manusia saja. Berapa jumlah penegak hukum di negeri kita sampai-sampai pihak penyidik baru menangkap si pelaku. 

Heran saya, kasus yang rumit dan kompleks saja dua hari atau katakanlah hanya sebulan saja bisa terpecahkan. Nah ini, hanya kasus penyerangan yang sudah terekam lewat CCTV, memerlukan beberapa puluh kali purnama untuk menangkap si pelaku. Sungguh terlalu!

Kalau begini ceritanya maka tak heran sih jika warganet mengungkapkan kekesalannya di media sosial. Tapi apa pemerintah mau membaca jeritan hati rakyatnya?

Sebagai masyarakat awam, melihat perkembangan kasus Novel Baswedan memang membutuhkan kesabaran. Tak jauh berbeda dengan ketika kita menonton drama korea yang kadang bikin jengkel penontonnya.

Bagaimana tidak bikin jengkel, banyak tindak adegan konspirasi dan tipu muslihat di setiap adegan drama korea. Yah, sebelas dua belas dengan kasus Novel Baswedan ini.

Sebagai masyarakat biasa, melihat ringannya hukuman bagi pelaku penyerangan ini bagaikan sedang menyelesaikan puzzle yang hilang salah satu bagiannya sehingga tidak bisa disusun menjadi utuh.

Bagian puzzle yang hilang ini seolah sengaja dihilangkan agar titik terang kasus korupsi di balik penyerangan Novel Baswedan tidak tercium keberadaannya.

Tapi setidaknya kita bisa menduga-duga, bagian puzzle yang manakah yang membuat hukuman bagi pelaku begitu ringan?

Pertama, aktor intelektual yang merasa terancam jika puzzle terpecahkan. Isu ini bukanlah isu baru karena sebelumnya ditemukan buku merah yang memuat catatan hitam penerima suap, yang katanya sih melibatkan pihak kepolisian dengan jabatan tinggi.

Dalam sebuah rekaman CCTV bahkan terekam seorang penyidik yang sengaja merobek bagian buku catatan tersebut. Seolah-olah catatan itu sangat berbahaya jika diketahui publik.

Karena si aktor intelektual ini sudah menyusun serangkaian strategi maka hilang sudah puzzle yang harusnya segera dipecahkan oleh tim, baik dari tim kepolisian ataupun KPK. Sebagai hadiahnya, si penyiram (entah penyiram sungguhan atau settingan) hanya diganjar setahun saja.

Kedua, si penyerang memang murni ingin balas dendam alias tidak ada puzzle-puzzle terkait kasus mega korupsi di balik penyerangan tersebut. Karena tidak ada motif lain, maka jaksa menjatuhkan hukuman sebagaimana tertuang dalam Pasal 353 ayat (2) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Si penyerang sudah menyesal (entah menyesal sungguhan atau settingan) dan si jaksa menduga si penyerang tidak sengaja menyiramkan asam sulfat ke wajahnya Novel Baswedan karena niat awal si penyerang adalah menyerang ke bagian badan bukan wajah.

Wah kalau alasannya tidak sengaja maka itu sangat tidak masuk akal. Namanya tindakan dengan perencanaan matang, sampai tahu kapan Novel Baswedan pulang dari masjid, kok bisa-bisanya dianggap tidak sengaja?

Maka tak heran lagi jika salah satu anggota DPR membandingkan kasus penyiraman Novel dengan kasus di PN Denpasar di mana si pelaku dijerat hukuman 3,5 tahun kurungan penjara. Pun di PN Bengkulu dan Pekalongan yang dijerat sampai 10 tahun bagi pelaku penyerangan.

Lalu dimanakah puzzle yang belum diselesaikan itu? Apakah memang sengaja disimpan rapat-rapat menunggu waktu yang tepat? Atau saya sedang nonton drama korea? Di mana happy ending hanya bisa saya temukan dalam drama, bukan di dunia nyata. Yah, semoga kasus ini yang layaknya drama korea juga berakhir happy ending, tidak membuat nyesek-nyesek lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun