Â
Diskusi yang digelar BEM UI bersama penggiat HAM pada Sabtu (6/6) menimbulkan banyak tanda tanya besar. Apalagi diskusi tersebut diikuti oleh Veronica Koman, seorang aktivis yang dianggap sebagai DPO karena membuat gaduh dengan provokasinya setahun silam.
Diskusi bertajuk #PapuanLivesMatter: Rasisme Hukum di Papua, ini kalau dilihat-lihat mirip dengan serentetan aksi protes atas meninggalnya George Floyd di Amerika Serikat oleh seorang polisi berkulit putih.
Apa benar BEM UI dan Veronica Koman meniru gaya protes di Amerika Serikat? Saya rasa iya, karena belakangan ini demo-demo atau protes bertagar LiveMatter sedang marak digunakan seperti PalestinianLivesMatter atau AboriginLivesMatter. Semua polanya sama, yakni menyuarakan keadilan atas hak-hak mereka yang direngut oleh kekuasaan.
Tapi apa benar orang Papua mendapatkan diskriminasi sebagaimana George Floyd yang mendapatkan perlakuan semena-mena karena berbeda?
Jika kita melihat sejarah bangsa ini maka benar bahwa orang Papua kerap kali mendapatkan diskriminasi. Apalagi di masa Soeharto di mana banyak dari mereka diculik secara misterius sampai meninggal. Kasus mereka pun berhenti seiring berjalannya waktu.
Nah, apakah sekarang ini situasinya sama dengan zaman dulu?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, masih ingatkan kita dengan ditangkapnya beberapa aktivis Papua lagi-lagi karena menyuarakan suara mereka di tengah publik? Adalah Fery mantan ketua BEM Universitas Cenderawasih, Alex ketua BEM Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ) dan beberapa aktivis lainnya yang dituntut 10 tahun penjara.
Mereka menyuarakan aksi anti rasisme pada Agustus 2019 silam di Jayapura. Apakah salah dengan aksi itu? Atau sebenarnya ada niat propaganda di balik nama HAM yang mereka dengungkan di tengah publik?
Sebelum membahas lebih dalam, kita perlu mengenal Veronica Koman dan teman-temannya terlebih dahulu.
Seperti kita ketahui bersama sebelumnya, Veronica Koman adalah DPO yang saat ini bermukim di Australia. Ia dianggap sering menyebarkan propaganda HAM di tanah Papua dengan menggelar demo di Surabaya beberapa waktu lalu.
Padahal Veronica Koman berangkat ke Australia untuk belajar hukum dengan biaya dari pemerintah Indonesia melalui beasiswa LPDP Kementerian Keuangan. Apalagi beasiswa tersebut nilainya sampai bermiliar-miliar rupiah jika melihat biaya hidup di Australia dan biaya kuliah yang begitu mahalnya. Dan uang tersebut pun berasal dari pajak rakyat.
Lantas berhakkah Veronica Koman melakukan aksi-aksi menyuarakan HAM? Tentu saja berhak, selama negara ini menjamin untuk menyuarakan pendapat yang dijamin oleh konstitusi kita.
Sayangnya, Veronica Koman berlebihan. Ia menyuarakan HAM tanpa ada solusi konkret semisal ikut membantu pembangunan di tanah Papua yang masih tertinggal. Kalau ia ingin menyelamatkan hak mereka, harusnya Veronica bukan mencari muka di negara orang lain.
Maka tak heran jika banyak yang mengira bahwa Veronica Koman ini didukung oleh pemerintah Australia dengan mengusik tanah Papua alias melakukan aksi propaganda terselubung. Bahkan tak segan-segan mereka mengira sikap Australia terhadap Papua tak ubahnya dengan sikap Australia kepada Timor Leste di mana pemerintah Australia hanya memanfaatkan kekayaan alamnya saja.
Propaganda di balik nama HAM ini bagai pisau bermata dua, di satu sisi tajam namun di sisi lain tumpul. Bisa jadi benar adanya bahwa HAM memang benar-benar direnggut sehingga perlu mendapat perhatian bersama namun bisa juga mereka menggunakan nama HAM untuk mencapai kepentingan tertentu.
Kita tidak bisa menilai hanya dari satu sisi saja, tapi namanya kita hidup di negara yang menjamin kebebasan berpendapat, harusnya kita biarkan saja  #PapuanLivesMatter, kalau kita merasa HAM di Papua baik-baik saja kenapa harus kebakaran jengot? Tinggal visualkan saja fakta di lapangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H