Mohon tunggu...
Musa Hasyim
Musa Hasyim Mohon Tunggu... Penulis - M Musa Hasyim

Dosen Hubungan Internasional Universitas Jenderal Soedirman

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Andai Prabowo Kembali Menjadi Ketum Gerindra, akankah Ia Melepas Jabatan Menteri?

7 Juni 2020   17:14 Diperbarui: 7 Juni 2020   17:12 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tampak Prabowo Subianto pada HUT Gerindra ke-12, sumber: Antara/Sigid Kurniawan

Baru-baru ini ada kabar tersiar bahwa Prabowo Subianto akan kembali menjadi ketua umum partai, yang dulu maju menjadi oposisi saat Pilpres tahun kemarin, apalagi kalau bukan Gerindra.

Tentu saja ini mengejutkan, apa lagi saat ini jabatan menteri pertahanan masih dipegang mesra oleh Prabowo Subianto. Jabatan tersebut merupakan hadiah kue terbesar bagi partai berlambang burung garuda itu.

Partai Gerindra saat ini pun tidak sevokal saat menjadi oposisi di masa Jokowi periode pertama. Yah, lagi-lagi karena posisi Prabowo Subianto yang sudah nyaman di kursi kementriannya.

Konsekuensi menjadi partai rezim adalah harus tunduk dan sedikit berbicara. Kritik sedikit bisa berbahaya. Begitu kira-kira analoginya.

Dan kini, Prabowo Subianto diminta menjadi ketua umum Paratai Gerindra setelah 34 DPD Partai Gerindra memilih Prabowo untuk kembali memimpin partai periode 2020-2025 dalam rapat pimpinan nasional (rapimnas) Kamis (4/6) silam.

Lah bukankah Prabowo Subianto masih menjabat menteri? Apakah ia akan melepaskan jabatan menterinya dan fokus membina partai ke depannya?

Saya rasa tidak, jabatan menteri yang digaji besar dengan segala fasilitas mewah lainnya akan berbanding jauh dengan hanya jabatan sebagai ketua partai di saat Pemilu atau Pilkada masih terbilang jauh ke depan.

Atau Prabowo akan merangkap dobel jabatan antara menteri dan ketum seperti halnya ketua umum Golkar Airlangga Hartarto dan Pelaksana Tugas (Plt) ketua umum PPP Suharso Monoarfa?

Ketika Prabowo dilantik menjadi menteri pertahanan pun, ia masih mengenakkan baju kekuasaan di tubuh partai Gerindra. Lalu apakah tidak masalah jika merangkap sebagai ketua umum partai dan sekaligus menteri?

Jika merujuk pada keputusan Jokowi maka tidak masalah jika seorang menteri merangkap sebagai ketua umum partai. Ini berlaku pada tahun 2016 silam di mana lagi-lagi Airlangga Hartarto masuk kabinet Jokowi ketika dirinya masih aktif sebagai ketum partai dengan lambang pohon beringin itu.

Padahal pas membentuk kabinet pada 2014 silam, Jokowi melarang menterinya merangkap jabatan sebagai ketua partai. Keputusan itu dilanggar sendiri oleh Jokowi, mungkin karena munculnya desakan dari kanan dan kiri agar Jokowi segera mencabut perintah tersebut.

Yah, jejak digital memang kejam namun bermanfaat bagi kita sebagai masyarakat awam. Karena begitulah prinsip kerja dari partai politik kita yang masih belum begitu dewasa. Selama ada kepentingan golongan yang lebih menjanjikan, kepentingan bersama ditebas begitu saja.

Bagai air di atas daun talas, suka berubah seusai keadaan dan kondisi di tubuh internal. Seharusnya Jokowi bersikap tegas dan konsisten, kalau menteri dilarang merangkap jabatan ketua umum partai yah seterusnya dilarang, bukan diubah-ubah kalau ada apa-apa.

Kini jika benar Prabowo Subianto kembali menjadi ketua umum partai Gerindra sekaligus menteri pertahanan maka pupus sudah harapan untuk menjadi negara yang bebas dan bersih dari kepentingan golongan atau kelompok. Hal ini didukung oleh hasil pengamatan dari para ahli.

Menurut pengamat politik dari Universitas Airlangga Novri Susan sebagaimana dilansir di Kompas.com, merangkap jabatan antara ketua umum partai dengan menteri justru akan membawa dampak negatif.

Partai politik dan pemerintahan adalah dua hal yang berbeda. Partai politik memiliki fungsi mewujudkan visi dan misi kepentingan kelompoknya dengan basis dukungan dari pemilih saat Pemilu atau Pilkada.

Sementara pemerintahan memiliki fungsi mewujudkan kemaslahatan bersama atas dasar kepentingan umum bukan kepentingan kelompok atau partai. Belva saja mundur dari jabatan Stafsus karena tersandung konflik kepentingan, nah kok yang merangkap jabatan ketum partai dan menteri tidak? Apa karena Belva masih muda sementara lainnya sudah tidak lagi muda sehingga hilang idealisnya?

Lalu apakah Prabowo dan kawan-kawannya yang masih merangkap jabatan mampu menempatkan diri saat menjadi ketua partai dan saat dinas menjadi menteri? Mari jawab sendiri!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun