Mohon tunggu...
Musa Hasyim
Musa Hasyim Mohon Tunggu... Penulis - M Musa Hasyim

Dosen Hubungan Internasional Universitas Jenderal Soedirman

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Anies Baswedan dan PSBB (Peraturan yang Selalu Buat Bingung)

16 Mei 2020   22:56 Diperbarui: 16 Mei 2020   23:20 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anies Baswedan saat konferensi pers, sumber: kompas.com

Sejak pertama kalinya Indonesia menerapkan kebijakan PSBB atau Pembatasan Sosial Berskala Besar pada sekitar pertengahan April silam, kasus Covid-19 tidak menujukkan kurva turun. Meski sudah banyak pasien sembuh, banyak pula pasien yang tidak bisa tertolong.

Evaluasi PSBB yang baru sekitar satu bulanan ini pun ramai diperbincangkan dan tak banyak menuai protes bersama. Sebenarnya kebijakan pemerintah pusat itu ampuh atau tidak dalam membasmi mata rantai penyebaran virus?

Dalam PSBB ini, kita tahu mulanya mudik secara tegas dilarang sampai moda transportasi kereta api dan pesawat berhenti beroperasi. Tidak ada tanda-tanda aktivitas berarti baik di bandara atau di stasiun.

Tapi beberapa hari setelah PSBB yang cukup ketat, ada sedikit pelonggaran baru seperti mulai dibukanya beberapa transportasi masal jarak jauh baik kereta api, kapal laut dan pesawat meski kasus Covid-19 selalu ada setiap harinya.

Kendati demikian masih ada aturan tegas yang mana tidak semua orang bisa menggunakan moda transportasi di atas apalagi jika tujuannya untuk mudik ke kampung halaman.

Awal-awal PSBB juga ada rencana untuk pemberhentian moda transportasi lokal jarak dekat seperti KRL. Beberapa gubernur bahkan menyatakan akan menghentikan KRL karena dianggap sebagai sarang penyebaran virus.

Tapi lain cerita dengan apa yang dikatakan oleh pemerintah pusat yang masih mengoperasikan KRL dengan berbagai macam pertimbangan. Bukan kebijakan pemerintah pusat yang sepenuhnya salah, melainkan inkosistennya antara pusat dan daerah. Seolah Covid-19 ini merupakan ajang pencitraan dan perlombaan meraih hati masyarakat.

Atau memang sudah adatnya begitu, karena beda kepala beda ide. Beda skala beda pemikiran. Ini juga terjadi di negara Adidaya Amerika Serikat.

Kini kontroversi kebijakan yang saling bersebelahan kembali terjadi, jika Korlantas Polri dan Kemenhub memperbolehkan mudik lokal (mudik lokal yang dimaksud adalah mudik ke beberapa daerah antar Jabodetabek atau masih dalam satu kawasan) lain halnya dengan Anies Baswedan yang ngotot melarangnya.

Menurut Anies, hanya mudik virtual yang diperbolehkan. Artinya tidak ada pergerakan di lalu lintas Jabodetabek ini menjelang lebaran kecuali untuk 11 sektor esensial yang berhubungan dengan pelayanan Covid-19.

Sebenarnya agak rancu juga sih, mudik lokal Jabodetabek dilarang tapi moda transportasi masih beroperasi. Padahal banyak pula pekerja yang melakukan transmisi antar Jabodetabek setiap hari. Ini buntut dari masih beroperasinya KRL.

Polemik mudik lokal juga tak hanya saling bertubrukan antar pemerintah pusat dengan daerah melainkan juga bersebrangan antar daerah dengan daerah lain.

Seperti pemerintah kota Bogor dan Tangerang yang memperbolehkan mudik lokal antar Jabodetabek. Padahal Jakarta, Tangerang Selatan dan beberapa daerah melarangnya. Logikanya jika Bogor memperbolehkan mudik ke Jakarta tapi kok Jakarta melarang?

Ini bukti bahwa koordinasi matang belum terjalin sepenuhnya selama pandemi. Harusnya jika memang dilarang, yah semuanya juga dilarang. Kalau tidak dilarang yah sudah tidak usah dilarang, jangan setengah-setengah dan membingungkan begini. Rakyat jadi semakin pusing, sudah pusing memikirkan bantuan yang tak kunjung datang ditambah bingung soal aturan.

Kemudian, ada pula wacana melonggarkan PSBB yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat, namun lagi-lagi ditolak oleh pemerintah daerah. Mana lagi kalau bukan Jakarta.

Anies Baswedan bahkan akan mengeluarkan aturan baru yang membuat pergerakan masa semakin sulit. Menurutnya warga Jakarta yang mau keluar dari Jakarta akan terus diawasi sementara warga luar Jakarta yang mau masuk ke Jakarta harus punya Surat Ijin Keluar-Masuk (SIKM).

Ini sebenarnya yang benar menganut pada amanat pemerintah pusat atau daerah? Mungkin banyak dari kita bertanya-tanya karena selama pandemi ini selalu saja ada perbedaan antara pemerintah pusat dan daerah.

Akhirnya kita bisa menyimpulkan bahwa PSBB ini bukanlah Pembatasan Sosial Berskala Besar melainkan Peraturan yang Selalu Buat Bingung. Maka jangan salah jika rakyat menganggap bahwa Covid-19 dianggap sebagai panggung politik para elit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun