Di saat masa PSBB seperti sekarang ini, traveling adalah sesuatu yang paling dirindukan setelah teman-teman kuliah. Kalau teman-teman kuliah bisa disiasati dengan video call, nah kalau traveling? Sepertinya tidak bisa untuk diwujudkan di saat banyak kendaraan umum berhenti beroperasi dan banyak tempat wisata ditutup karena pandemi.
Kendati demikian, memandangi frame foto di ponsel pintar dan membongkar oleh-oleh ketika wisata dulu mampu menjadi obat penawar rindu. Apalagi bagi yang doyan berfoto, oleh-oleh bukan sekedar makanan yang habis seketika melainkan sesuatu yang dapat dijadikan objek dalam sebuah foto. Dikemudian hari foto itu mampu mengobati rasa rindu untuk berkunjung kembali ke tempat itu.
Lazimnya objek foto, maka oleh-oleh yang cocok adalah benda-benda mungil. Benda-benda itu dapat menemani sepanjang travel. Tak hanya sekali dijadikan objek foto di satu tempat tapi bisa juga digunakan di banyak tempat yang berbeda.
Benda-benda mungil yang pernah menjadi bagian sejarah perjalananku lumayan banyak. Namun hanya beberapa yang paling berkesan karena ada cerita di balik benda-benda mungil tersebut.
Pertama, replika mercusuar. Benda mungil satu ini saya dapatkan saat saya berlibur di Belitung. Saya membeli itu kepada pengrajinnya langsung. Sebenarnya ada banyak yang pengrajin itu buat tapi entah kenapa saya selalu menyasar kepada replika mercusuar itu.
Mercusuar di Belitung seolah memanggilku untuk ke sana kembali. Dan setiap memandang replika mercusuar itu, doa dan harapan saya panjatkan semoga ada waktu dan rezeki di lain hari terutama di saat Covid-19 ini berakhir.
Bagaimana tidak ingin kembali ke Belitung. Kota sejuta panorama indah dengan julukan kota Laskar Pelangi itu akan membuat siapa saja betah berlama-lama di sana. Hal ini didukung pula dengan keramahan warganya yang luar biasa.
Kedua, lomar atau ikat kepala khas suku Baduy Lebak. Oleh-oleh mungil satu ini sangat cocok dijadikan aksesoris tambahan saat sesi pemotretan. Bukan hanya pemotretan resmi tapi di setiap traveling ke mana saja bisa pula dipakai kembali.
Lomar suku Baduy Lebak dengan warna ungu dan hitam itu sangat istimewa bagiku. Di setiap kali memakai lomar, seolah-olah orang Baduy memanggilku untuk kembali.
Sejujurnya saya juga ingin kembali lagi ke sana. Bagaimana tidak ingin kembali, setiap kali saya menjelajah ke Baduy Lebak, saya merasa kembali ke masa lampau. Saya merasa menjadi bagian dari mereka yang masih setia menjaga kelestarian lingkungan.
Udara, pohon, gadis-gadis penenun, dan rumah adat Baduy adalah memori yang sulit untuk kulupakan. Semoga saat pandemi ini berakhir, saya benar-benar bisa kembali ke sana. Apalagi Lebak tidak begitu jauh dari Jakarta. Pun bisa dijangkau dengan kereta listrik, meski harus nyambung angkutan.
Ketiga, replika love. Oleh-oleh kecil nan sederhana satu ini saya dapatkan ketika berlibur ke Semarang Kota Lama tepatnya di Pasar Barang Antik dekat Gereja Blenduk yang eksotik.
Dari sekian barang antik, saya kepincut repilka love karena saya sangat cinta dengan Semarang. Saking cintanya, saya sering berkunjung ke kota yang cukup dekat dengan tanah kelahiranku itu.
Ketika saya sedang transit di Semarang pun, saya menyempatkan untuk berlibur sebentar di sana. Meski beberapa tempat wisata hanya itu-itu saja, saya tidak pernah bosan menikmati setiap detiknya di Semarang.
Semoga setelah pandemi ini berakhir, saya bisa menjejaki tempat-tempat indah lainnya di Indonesia. Tak sekedar singgah, namun juga berburu benda-benda mungil lainnya yang saya anggap memiliki kekuatan magis.
Yah tentu saja magis, karena berkali-kali benda mungil itu memanggil saya untuk kembali ke tempat yang sudah pernah saya pijaki itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H