Lomar suku Baduy Lebak dengan warna ungu dan hitam itu sangat istimewa bagiku. Di setiap kali memakai lomar, seolah-olah orang Baduy memanggilku untuk kembali.
Sejujurnya saya juga ingin kembali lagi ke sana. Bagaimana tidak ingin kembali, setiap kali saya menjelajah ke Baduy Lebak, saya merasa kembali ke masa lampau. Saya merasa menjadi bagian dari mereka yang masih setia menjaga kelestarian lingkungan.
Udara, pohon, gadis-gadis penenun, dan rumah adat Baduy adalah memori yang sulit untuk kulupakan. Semoga saat pandemi ini berakhir, saya benar-benar bisa kembali ke sana. Apalagi Lebak tidak begitu jauh dari Jakarta. Pun bisa dijangkau dengan kereta listrik, meski harus nyambung angkutan.
Ketiga, replika love. Oleh-oleh kecil nan sederhana satu ini saya dapatkan ketika berlibur ke Semarang Kota Lama tepatnya di Pasar Barang Antik dekat Gereja Blenduk yang eksotik.
Dari sekian barang antik, saya kepincut repilka love karena saya sangat cinta dengan Semarang. Saking cintanya, saya sering berkunjung ke kota yang cukup dekat dengan tanah kelahiranku itu.
Ketika saya sedang transit di Semarang pun, saya menyempatkan untuk berlibur sebentar di sana. Meski beberapa tempat wisata hanya itu-itu saja, saya tidak pernah bosan menikmati setiap detiknya di Semarang.
Semoga setelah pandemi ini berakhir, saya bisa menjejaki tempat-tempat indah lainnya di Indonesia. Tak sekedar singgah, namun juga berburu benda-benda mungil lainnya yang saya anggap memiliki kekuatan magis.
Yah tentu saja magis, karena berkali-kali benda mungil itu memanggil saya untuk kembali ke tempat yang sudah pernah saya pijaki itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H