Yuli Nur Amelia (42), warga Serang yang diduga meninggal karena kelaparan akibat tidak makan selama dua hari sampai hanya minum air galon selama pandemi Covid-19 ini menarik perhatian. Meski dugaan ini dipatahkan oleh suami almarhumah Yuli yang menyatakan bahwa istirnya meninggal bukan karena kelaparan melainkan karena kelelahan dan kecapaian.
Lain lagi dengan pernyataan Juru Bicara Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Serang yang menyatakan bahwa kematian Yuli diakibatkan oleh serangan jantung dadakan. Apapun pernyataan-pernyataan itu, publik menyayangkan situasi Yuli yang sampai tidak makan dua hari. Bagaimana bisa seorang tidak makan selama dua hari sementara pemerintah setempat baru tahu kejadian itu setelah viral.
Bagaimana kalau tidak viral? Mungkin keluarga almarhumah bisa tidak makan sampai tiga hari atau lebih.
Mulanya sang suami almarhumah Yuli yang bekerja sebagai pemulung berhenti bekerja buntut dari wabah Covid-19. Akibatnya sang suami tidak dapat membawa beras dan makanan untuk dimakan sampai-sampai mereka pernah memakan singkong kecil yang masih mentah, belum waktunya untuk dimakan.
Rentetan peristiwa memilukan itu mengundang perhatian dari berbagai stasiun TV, partai politik dan komunitas untuk berbagi makanan dan kebutuhan pokok lainnya kepada Yuli. Tak lama setelah berita itu viral, Yuli dan keluarga tidak kelaparan lagi. Meski begitu, takdir berkata lain ketika Yuli dinyatakan tewas.
Kalau saja, dua hari ketika Yuli hanya bisa minum air galon itu bisa diulang kembali, tentu saja potensi kematian ini bisa minimalisir. Bagaimanapun juga situasi seperti itu memicu hal yang tidak bagus bagi kondisi tubuh apalagi bagi mereka yang memiliki riwayat penyakit mag akut.
Pertanyaan lain muncul, apakah almarhumah Yuli itu ujug-ujug kelelahan dan kecapaian sebagaimana yang dikatakan sebelumnya? Kalau ditarik benang merahnya maka hari-hari sebelumnya ketika almarhumah tidak bisa makan pasti mempengaruhi kondisi almarhumah Yuli hingga mengalami kelelahan dan kecapaian lalu mengalami serangan jantung dadakan.
Kondisi semacam itu tidak hanya dialami oleh almarhumah Yuli karena di saat pandemi Covid-19 seperti ini banyak keluarga yang harus menahan rasa lapar. Mereka tidak bisa bekerja lagi karena tidak ada pembeli, tidak ada pekerjaan yang bisa dilakukan karena sepi, dan semakin ketatnya peraturan PSBB.
Saya tidak sepenuhnya menyalahkan pemerintah daerah dan tetangga almarhumah Yuli karena di saat PSBB seperti sekarang ini banyak warga memilih berdiam diri di rumah masing-masing apalagi jika rumah tetangga berjauhan pasti jarang ketemu. Di tambah jika rumah tetangga tidak memiliki ponsel untuk berkomunikasi, lengkap sudah.
Di saat kondisi mencekam seperti sekarang ini, Kartu Prakerja muncul. Memang, Kartu Prakerja ini sangat berguna bagi mereka yang terkena dampak Covid-19 dan Kartu Prakerja juga sudah diagendakan sejak masa kampanye Pilpres setahun silam. Namun bagaimana dengan orang-orang seperti almarhumah Yuli?
Banyak orang yang di desa yang tidak punya ponsel pintar. Kalaupun punya, sinyal belum tentu ada. Penetrasi internet kita juga masih sangat rendah. Lantas mereka yang berhak mendapatkan insentif lebih justru yang bisa mengakses internet? Dan tentu saja perusahaan penyelenggara kursus daring yang mendapatkan insentif paling banyak dan paling banyak mendapat keuntungan lebih.