Pada 2017 silam, saya sempat mengikuti kegiatan relawan mengajar di Banten. Saya mengikuti kegiatan ini untuk mengisi waktu liburan semester ketika sedang studi sarjana dengan jurusan Hubungan Internasional UIN Jakarta.
Mulanya saya tidak berniat ikut, namun teman akrab saya mengajak untuk ikut seleksi relawan mengajar itu. Lokasi seleksi juga tidak jauh dari kampus UIN Jakarta. Tak disangka saya lolos padahal belum ada pengalaman mengajar sebelumnya, hanya pengalaman mengajar Iqra di kampung pemulung Ciputat.
Untuk mengikuti seleksi relawan mengajar di komunitas tersebut memang tidak mensyaratkan pengalaman mengajar karena setelah nanti lolos pun akan ada pembekalan bagi calon relawan setiap akhir pekan. Tapi saat seleksi waktu itu ada simulasi mengajarnya, jadi agak bingung juga sebenarnya.Â
Setelah saya dinyatakan lolos, pengurus komunitas menghubungi saya. Dan memang benar ada pembekalannya mulai dari pembekalan mengajar, konseling, problem solving, leadership, ice breaking dan masih banyak lagi pembekalan lainnya yang diisi oleh orang-orang berkompeten di bidangnya. Sungguh pengalaman yang indah dan bermanfaat bagi saya dan kawan-kawan relawan.
Pembekalan itulah yang kemudian saya praktikkan ketika penempatan. Sesaat sebelum penempatan, muncul bayang-bayang tentang kondisi kecamatan Muncang kabupaten Lebak. Semuanya pasti jauh dari kata modern dan masih sangat asri.
Tak disangka saya mendapat penempatan di desa Pasirnangka kecamatan Muncang kabupaten Lebak provinsi Banten. Dulu, Lebak masuk dalam daerah 3T. Tapi beberapa tahun kemudian sudah dicoret jika melihat pada buku panduan beasiswa LPDP bagi daerah 3T yang terbaru.
Desa itu dalam bayangan saya adalah desa yang berada di perbukitan, jalanan jelek, fasilitas kurang memadai, dan sinyal yang susah. Semua bayangan itu benar adanya. Memang semuanya masih pedesaan sekali. Bahkan cukup terpelosok.
Untuk membeli kebutuhan saja, saya harus turun bukit. Hanya ada sekali angkutan yang menganggut ke pusat kecamatan di jam 7 pagi, selebihnya harus menggunakan kendaraan pribadi. Motor yang paling disarankan karena jalanan yang cukup sempit, kanan-kiri jurang, dan bebatuan terjal.
Boro-boro supermarket, fasilitas kesehatan (Puskesmas) hanya bisa dijumpai di pusat kecamatan, sekolah dasar hanya satu, dan sekolah menengah atas juga berada di bawah. Sayangnya, banyak dari mereka yang putus sekolah setelah lulus SMP. Mereka memilih merantau ke ibukota.
Dari semua yang bikin jengkel adalah sinyal. Pernah suatu ketika, teman satu penempatan dengan saya dihubungi oleh keluarganya karena tidak memberi kabar selama tiga hari lamanya kepada keluarganya di Bekasi. Bagaimana mau menghubungi, sinyal hanya bisa ditemukan di jendela sekolah. Itupun masih sinyal SMS.
Alhasil hampir sebulan kami tidak membuka internet. Semua informasi kami dapatkan melalui pesan singkat berupa SMS atau panggilan saja.
Lama tak ada kabar tentang Muncang, sebuah berita tentang Muncang membuat saya terheran. Pasalnya, seorang mahasiswa IPB yang tinggal di desa Sindangwangi kecamatan Muncang harus naik bukit supaya dapat sinyal untuk kuliah daring.
Desa Sindangwangi itu bisa dikatakan lebih dekat ke pusat kecamatan ketimbang dengan desa Pasirnangka. Dulu, salah satu tim juga ada yang ditempatkan di desa itu. Lantas, bagaimana pula dengan desa Pasirnangka dan Pasireurih yang lebih jauh lagi posisinya ke pusat kecamatan.
Boro-boro sinyal, kebanyakan dari mereka juga tidak memiliki ponsel pintar. Ponsel bagi mereka adalah ponsel jadul yang hanya bisa buat SMS dan menelpon saja. Ponsel pintar masih dianggap barang mewah di sana.
Dulu, ketika saya menampilkan video di laptop saja, mereka sangat kegirangan. Saya tidak menganggap mereka katrok. Karena bagaimanapun juga, banyak hal dari penduduk desa yang membuatku kagum dengan mereka.
Mereka sangat jago dalam urusan bersosialisasi, jago dalam urusan berbagi dan sangat peka terhadap sesama. Ketika ada tetangga yang meninggal, semua penduduk desa ramai-ramai datang ke rumah duka. Tanpa dikabari lewat pengeras suara, mereka sudah datang lebih awal.
Desa Pasirnangka memang tidak begitu luas. Tapi saya kagum, mereka hafal semua nama tetangga mereka. Saya merasa bakat hafalan saya kalah jauh dari mereka.
Saya juga sering dikirimi berbagai macam buah oleh mereka mulai dari durian, umbi-umbian dan banyak lagi. Saya juga sering diajak ngaliwet oleh mereka. Diajak ke curug/air terjun dan diajak naik truk. Semuanya bersaudara dan semuanya saling peduli satu sama lain.
Jika mereka bersekolah lewat online, rasanya mustahil. Selain karena sinyal, jumlah guru juga masih terbatas. Guru yang berstatus sarjana saja tak lebih dari lima orang. Sisanya masih nyambi kuliah dan ada pula yang masih lulusan SMA.
Meski begitu, mereka tidak perlu khawatir akan persediaan makanan ketika Covid-19 datang. Di mana-mana banyak tumbuh-tumbuhan, tanaman, pohon yang subur. Tinggal ke kebun, semuanya ada. Di sungai, ikan besar-besar. Dan di sawah, padi melimpah ruah. Hanya saja susah sinyal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H