Mohon tunggu...
Musa Hasyim
Musa Hasyim Mohon Tunggu... Penulis - M Musa Hasyim

Dosen Hubungan Internasional Universitas Jenderal Soedirman

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pencari Untung di Balik Musibah Corona

28 Januari 2020   16:02 Diperbarui: 28 Januari 2020   16:19 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika bom Sarinah meledak beberapa tahun silam, ternyata ada juga pedagang asongan yang masih sempat-sempatnya berjualan di tengah kerumunan orang yang tengah menyaksikan live action polisi vs teroris. Untung saja harga yang ditawarkan masih dalam kategori wajar.

Ketika musim paceklik pun sama, di saat petani gagal panen, masyarakat dihebohkan dengan harga komoditi pangan yang justru naik berkali-kali lipat. Ada saja yang menaikkan harga di saat kondisi keuangan kita tidak sedang baik-baik saja.

Ternyata bukan Indonesia saja yang demikian, perilaku toxic itu juga dilakukan oleh sebagian warga Tiongkok. Bagaimana tidak toxic, di saat orang di Tiongkok membutuhkan persediaan masker karena wabah corona yang menyeramkan, harga masker justru melambung sangat tinggi.

Kebutuhan masker di negeri Tirai Bambu itu adalah sekitar 50-60 juta masker per hari sementara pasokan yang tersedia hanya 20 juta masker, tidak ada setengahnya yang tercukupi. 

Perusahaan-perusahaan pembuat masker pun kewalahan dengan permintaan yang tinggi. Alhasil pedagang-pedagang jahil pun memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan ini.

Harga masker yang ditawarkan tidak tanggung-tanggung yakni 40 yuan per helai atau setara 80 ribu per helai. Gila, bukan! Harga segitu di Indonesia bisa beli ratusan masker.

Situasi yang tidak memungkinkan di Tiongkok ini membuat semua orang rela mengeluarkan berapapun yuan asalkan bisa jauh-jauh dari virus corona. 

Tak hanya masker, bagaimana dengan pasokan makanan? Karena di situasi seperti itu, orang pasti kekurangan pasokan makanan higienis yang tak ada kontak langsung dengan penderita, yah meski harganya juga berkali-kali lipat dari harga normal.

Seperti dilansir Kompas (27/01/2020), berdasarkan penuturan mahasiswa Indonesia di Wuhan, harga makanan sangat melambung tinggi seperti kacang-kacangan yang tadinya hanya 20 ribu rupiah kini menjadi 80 ribu rupiah. Meski begitu, mereka tetap membelinya karena gizi dan kesehatan tubuh harus terpenuhi tak peduli berapa mahalnya harga komiditi pangan.

Bagi pedagang, mereka akan menganggap bahwa cara mereka masih dalam kondisi wajar. Bayangkan saja, banyak fasilitas publik dan swasta ditutup. Jalanan sepi. Dan bagi mereka yang memiliki usaha retail atau resto kecil-kecilan akan kesusahan mendapatkan pelanggan. Bantuan dari pemerintah pun pasti ada, namun itu tidak sebanding dengan kerugian yang mereka terima akibat musibah wabah tersebut.

Mungkin dengan menjual masker seharga 80 ribu rupiah helai per masker akan menutup kerugian yang mereka dapatkan. Mungkin juga dengan menjual kacang-kacangan sebesar 80 ribu rupiah, mereka akan mendapatkan pasokan tabungan untuk pendidikan anak mereka kelak. 

Belum lagi urusan transportasi, karena sebagian besar orang pasti lebih memilih kendaraan yang hanya menampung tak lebih dari 5 orang. Mereka akan menghindari menaiki transportasi umum karena rawan terjangkit virus dari orang lain. Alhasil pengeluaran juga pasti membengkak.

Lantas bagaimana nasib mereka yang non-pedagang? Mengeluarkan uang 80 ribu untuk membeli satu helai masker mungkin bukan jumlah yang besar bagi sebagian orang, namun bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki penghasilan tetap? Apa iya mereka harus berhutang sana-sini demi memiliki pasokan masker setiap hari belum untuk kebutuhan perut.

Inilah kondisi yang memprihatinkan, WNI di sana saja berbondong-bondong mau pulang ke tanah air. Bisa-bisa uang mereka terkuras habis hanya untuk membeli masker. Namun bagaimana nasib warga Wuhan atau Tiongkok asli? Ke mana mereka harus pulang?

Saat inilah diperlukan uluran-uluran tangan para derma di seluruh dunia. Bantuan semacam ini tidak ada hubungannya dengan komunis atau agama, melainkan berhubungan langsung dengan kemanusiaan. Jangan hanya melihat Timur Tengah atau Uighur saja, apalagi menyalahkan sana sini.

Kalau saja satu orang di dunia memberikan satu masker, itu sudah lebih dari cukup bagi mereka. Tapi tunggu dulu, bagaimana cara mengirimkan bantuan masker kalau bandaranya saja banyak ditutup? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun