Setelah lulus dengan menyandang gelar sarjana Arsitektur Universitas Indonesia 2007, Reynhard pergi hijrah ke Negeri Ratu Elisabeth untuk melanjutkan kuliah masternya dengan bidang Urban Planning di Manchester University. Reynhard langsung jatuh cinta dengan Manchester begitu tiba, bukan karena di sana ada markas klub sepak bola dunia, Manchester City dan Manchester United, melainkan karena terdapat kebebasan di dalamannya. Di sisi lain, kuliah di luar negeri adalah mimpi bagi kebanyakan orang Indonesia.Â
Reynhard sangat betah hingga tak menyangka bisa lulus tak hanya di bidang Urban Planning namun juga ilmu Sosiologi di universitas yang sama pada 2011. Reynhard benar-benar betah tinggal di sana, ia tak perlu merasa khawatir terhadap kondisi keuangan karena ditopang oleh orang tuanya yang kaya raya. Ia pun melanjutkan studi doktoralnya di bidang Geografi Manusia di Leeds University. Padahal biaya kuliah di sana menghabiskan dana milyaran rupiah lebih, belum biaya hidupnya yang berkali-kali lipat lebih mahal dari biaya hidup di Indonesia.
Selama di Inggris, Reynhard tinggal di Montana House yang bersebelahan dengan Gay Village di Canal Street yang hanya berjarak 0,5 mil atau bisa ditempuh selama 6 menit dengan berjalan kaki. Lalu apa istimewanya Gay Village sehingga membuat RS sangat betah hidup di sana selama 10 tahun sebelum akhirnya di tangkap pihak kepolisian Manchester pada 2017?
Gay Village di Canal Street adalah surganya orang-orang LGBT di mana terdapat klub malam, kafe dan restoran khusus gay. Parade Gay juga sering diadakan di sana. Dengan kebebasan yang tidak mungkin bisa Reynhard jumpai di Indonesia ini, akhirnya membuat Reynhard terlanjur jatuh cinta pada Manchester. Apalagi fenomena LGBT adalah hal yang sangat tabu dibicarakan di Indonesia, sempurna sudah bagi Reynhard untuk hidup melawan kodratnya sebagai lelaki di Gay Village.
Tak hanya sebatas tempat LGBT, di kawasan tersebut terdapat kanal indah dengan berbagai bangunan tua yang memanjakan mata. Ada pula monumen Alan Turing, bapak komputer dunia di kawasan Gay Village tersebut. Galeri seni pun tak ketinggalan karena di sana terdapat Galeri Seni Manchester yang turut menampilkan karya seniman kelas dunia. Maka tak heran Reynhard sangat betah di sana apalagi ia tak perlu risau dengan kiriman uang dari orang tuanya di Indonesia.
Gay Village ini bukan hanya ada di Inggris, beberapa negara yang melegalkan pernikahan sejenis juga menyediakan tempat khusus untuk LGBT seperti Kanada, AS, Belanda dan masih banyak lagi lainnya. Setelah peristiwa Reynhard Sinaga terkuak, mustahil Gay Village tidak disorot.
Lihatlah orang-orang mungkin akan ketakutan jika melewati kawasan tersebut terutama laki-laki. Apa semua orang yang berlalu lalang di Gay Village adalah seorang LGBT? Pasti tidak jika melihat destinasi wisata yang berada di kawasan tersebut. Hanya saja orang-orang non-LGBT tidak akan memasuki kafe atau klub malam khusus gay di sana.
Lalu sebenarnya apa kejadian Reynhard berhubungan dengan lingkungan Gay Village yang terlalu bebas sehingga ia sangat mudah mencari mangsa di malam hari?
Sebenarnya jika ditelusuri lebih lanjut, pertanyaan tersebut akan menghasilkan jawaban abu-abu dan panjang. Selama ini Reynhard Sinaga dikenal pribadi yang baik namun jarang ikut nimbrung dengan PPI Manchester sebagaimana penuturan WNI yang berkuliah di sana. Dengan mengikuti kegiatan-kegiatan positif dari PPI, Reynhard mungkin tidak akan bertindak terlalu jauh. Menyibukkan diri bisa jadi menjadi sebuah solusi namun semuanya sudah terlanjur karena ia menorehkan sejarah sebagai pemerkosa terburuk di Inggris.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H