Tak pernah kubayangkan akan terjadi seperti ini pada akhirnya. Usahaku untuk menentang pembangunan proyek di tanah adat kampungku hanya mengantarkanku mendekam di balik jeruji besi ini. Sekuat apapun aku berusaha membela diri, tak satu pun orang-orang di kampungku yang berada di pihakku.
Sebenarnya aku telah mengetahui ini bahwa Lukas dan kawan-kawanku yang lain telah berubah pikiran. Mereka akhirnya luluh setelah dibujuk dengan uang senilai satu juta rupiah. Harga diri mereka dan tanah adat di kampungku sebegitu murahnya. Mereka lalu berbalik menuding, akulah yang telah menghancurkan dan membakar papan nama proyek minggu kemarin.
"Maafkan aku, kawan. Anakku kemarin minta uang sekolah." Begitu mudahnya para bajingan itu merayu kawan-kawanku. Diam-diam aku mereka laporkan ke kepala proyek seusai kami bertengkar hebat ketika aku diberitahu bahwa papan nama proyek telah mereka bakar. Dan kini, dari balik jeruji ini aku memohon barangkali ada hati yang masih ingin melanjutkan perjuanganku agar di tanah itu tak ada bangunan apapun dapat berdiri tegak di atas penderitaan kami. Agar para bajingan itu tahu, bukan aku yang merusak papan nama kehormatan mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H