Mohon tunggu...
Mario b o j a n o Sogen
Mario b o j a n o Sogen Mohon Tunggu... Penulis - Pengagum Senja | Penulis | Content Writer

Aku ingin menjadi seperti kunang-kunang. Dalam gelap aku terang. Dalam gelap aku bahagia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senjaku Tak Akan Lagi Indah

20 Agustus 2021   22:14 Diperbarui: 20 Agustus 2021   22:42 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini, untuk yang ke sekian kalinya aku mengenang kembali senja kala itu. Dan aku seolah-olah membenci padanya. Air mataku tak dapat ku bendung. Bagaimana tidak?

Kau yang dahulu selalu menyenandungkan lagu-lagu tentang cinta kala senja datang, ditemani segelas kopi hitam dan rokok, kini tiada lagi.

Aku sungguh tak percaya bahwa secepat ini aku akan kehilangan dirimu.
Semua ocehan darimu ketika aku terkadang tak mau menuruti permintaanmu untuk menyelesaikan tugas kuliahku raib bersama kepergianmu. Dan aku kini merasa sangat kesepian. Aku benci senja.

"Kalau kau malas kerja tugas, mendingan pulang saja ke kampung."

Ahh, aku semakin kalut bila harus mengingat lagi omelanmu yang sering itu.
Sungguhkah dirimu kini telah tiada? Aku masih merasakan hadirmu disini. Sungguh.

Kabar dari ibuku yang mengabariku bahwa engkau telah pergi untuk selamanya lantaran kecelakaan yang menimpamu kemarin sungguh membuatku terluka. Aku tak sanggup untuk menerima kepedihan ini.

"Diego, mengapa sikap kepala batumu tak jua berubah? Kau selalu mengingatkanku untuk tidak lupa menyelesaikan tugas kuliahku sedangkan engkau tak pernah mendengar sedikitpun nasihat ayah dan ibumu untuk tidak kebut-kebutan mengendarai sepeda motormu. Engkau egois, Diego. Engkau egois."

Aku marah pada lelaki yang fotonya kutaruh di atas meja belajarku.
Air mataku menetes tak henti. Aku hanya mampu memandang, sesekali memeluk foto lelaki itu, lalu kembali melihat dan mengusap wajah lelaki itu. Entah berapa kali aku melakukan itu dalam sehari.

Jayapura-Surabaya, jarak yang memisahkan keberadaan kami lantaran dia pulang ke kampungnya untuk berlibur membuatku menyesali perpisahan ini.

Aku tak mengira bahwa Diego, kekasihku itu bukan hanya pulang kampung tetapi juga akan pergi selama-lamanya menyisakan rindu yang teramat sangat pilu. Dan hari ini, aku hanya mampu menangisi kepergiannya sambil memandangi fotonya. Aku tak bisa berbuat lebih. Aku kini sedang menjalankan masa praktik.

"Tuhan, kenapa indah yang bermalam-malam lalu kau berikan padaku kini kau ambil? Haruskah kami terpisahkan dengan cara seperti ini? Aku sungguh-sungguh tak menerima ini, Tuhan. 

"Aku tak menerimanya dan sampai kapanpun aku tak akan ikhlas atas kepergiannya. Aku mau dia. Aku mau dia selalu ada untukku, mengingatkanku untuk mengerjakan tugasku, menyanyikan untukku lagu-lagu tentang cinta, menemaniku hingga kami tua bersama nanti."

Aku semakin meratapi kenyataan pahit yang kualami saat ini.
Semua terjadi begitu cepat padahal belum satu pun mimpi kami terwujud bersama. Hatiku kini hancur.

Tambah lagi bila aku harus memandang tubuhnya yang terbujur kaku dengan kedua mata tertutup. Lebam luka di wajahnya sungguh membuatku semakin hancur dan meratapi kenyataan ini.

"Diego, sungguh engkau kah ini? Kau yang kemarin masih mengomeliku kini terbaring dalam raga tak bernyawa dengan wajah penuh lebam? 

"Sungguh engkau kah ini? Mengapa engkau melakukan ini padaku? Mudah sekali engkau pergi meninggalkanku sedangkan rasa cinta dan sayangku padamu semakin bertambah seiring berjalannya waktu dan menginginkanmu untuk selalu menemaniku? Engkau egois Diego. Engkau jahat."

Aku lalu merangkul penuh cinta foto Diego yang ada di handphone-ku yang dikirimi ibuku kemarin. Ingin aku memeluknya untuk terakhir kalinya namun hanya ini yang bisa kulakukan. 

Jarak telah memisahkan kami untuk selamanya. Semua kenangan indah bersamanya hanya akan menjadi kenangan pahit. Aku kini akan sendirian. Kesepian. 

Hilang semua canda dan tawa. Hilang semua omelan. Hilang semua senandung lagu-lagu cinta. Hilang segala-galanya tentang dia.

"Diego. Aku mencintaimu. Selamat jalan kekasih hatiku. Terima kasih untuk semua cintamu padaku. 

"Semoga Tuhan mengampuni dosa-dosamu dan memperkenankan engkau untuk boleh berbahagia bersama para kudus di surga. Selamat jalan Diegoku. Selamat jalan. Jagalah aku. Doakan aku dari surga. Aku mencintaimu. Selamanya."

Aku lalu membisu, memandang dan mengusap wajahnya pada bingkai foto di atas meja belajarku. Hari-hariku tak akan lagi indah. Selamat jalan kekasihku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun