"Tuhan, kenapa indah yang bermalam-malam lalu kau berikan padaku kini kau ambil? Haruskah kami terpisahkan dengan cara seperti ini? Aku sungguh-sungguh tak menerima ini, Tuhan.Â
"Aku tak menerimanya dan sampai kapanpun aku tak akan ikhlas atas kepergiannya. Aku mau dia. Aku mau dia selalu ada untukku, mengingatkanku untuk mengerjakan tugasku, menyanyikan untukku lagu-lagu tentang cinta, menemaniku hingga kami tua bersama nanti."
Aku semakin meratapi kenyataan pahit yang kualami saat ini.
Semua terjadi begitu cepat padahal belum satu pun mimpi kami terwujud bersama. Hatiku kini hancur.
Tambah lagi bila aku harus memandang tubuhnya yang terbujur kaku dengan kedua mata tertutup. Lebam luka di wajahnya sungguh membuatku semakin hancur dan meratapi kenyataan ini.
"Diego, sungguh engkau kah ini? Kau yang kemarin masih mengomeliku kini terbaring dalam raga tak bernyawa dengan wajah penuh lebam?Â
"Sungguh engkau kah ini? Mengapa engkau melakukan ini padaku? Mudah sekali engkau pergi meninggalkanku sedangkan rasa cinta dan sayangku padamu semakin bertambah seiring berjalannya waktu dan menginginkanmu untuk selalu menemaniku? Engkau egois Diego. Engkau jahat."
Aku lalu merangkul penuh cinta foto Diego yang ada di handphone-ku yang dikirimi ibuku kemarin. Ingin aku memeluknya untuk terakhir kalinya namun hanya ini yang bisa kulakukan.Â
Jarak telah memisahkan kami untuk selamanya. Semua kenangan indah bersamanya hanya akan menjadi kenangan pahit. Aku kini akan sendirian. Kesepian.Â
Hilang semua canda dan tawa. Hilang semua omelan. Hilang semua senandung lagu-lagu cinta. Hilang segala-galanya tentang dia.
"Diego. Aku mencintaimu. Selamat jalan kekasih hatiku. Terima kasih untuk semua cintamu padaku.Â
"Semoga Tuhan mengampuni dosa-dosamu dan memperkenankan engkau untuk boleh berbahagia bersama para kudus di surga. Selamat jalan Diegoku. Selamat jalan. Jagalah aku. Doakan aku dari surga. Aku mencintaimu. Selamanya."