Mohon tunggu...
Renold Hasan
Renold Hasan Mohon Tunggu... lainnya -

Pekerjaan : Pengemis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Peristiwa 1965, Sebuah Tragedi kemanusiaan dalam Sejarah Bangsa

20 Januari 2011   07:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:22 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_102622" align="aligncenter" width="400" caption="Peristiwa 1965, Sebuah Tragedi kemanusiaan dalam Sejarah Bangsa"][/caption]

Ketika kita berbicara mengenai peristiwa 65, maka yang terbayang dalam benak kita adalah peristiwa ‘pemberontakan PKI’ pada tanggal 30 September 1965 atau dikenal dengan Gerakan 30 September (G30 S/PKI). Sejarah yang ditulis orde baru tentang peristiwa 65 ini adalah Partai Komunis Indonesia (PKI) saat itu akan melakukan kudeta terhadap kepemimpinan Soekarno dan berencana menjadikan Indonesia menjadi negara komunis. Kudeta yang akan dilakukan PKI saat itu memakan korban 7 orang jendral dikalangan angkatan darat di Jakarta dan dua orang di Yogyakarta.

Pembunuhan sadis dan kejam terhadap para jendral tersebut, serta kepahlawanan Soeharto dalam mengatasi situasi yang ‘genting’ saat itulah yang ditonjolkan oleh film G30S PKI karya sutradara besar Arifin C Noer. Setiap tanggal 30 September kita diwajibkan menonton film itu sehingga tanpa tersadar kita didoktrin oleh pemerintahan orde baru yang dipimpin Soeharto atas peristiwa yang terjadi tahun 1965 tersebut.

[caption id="attachment_102623" align="aligncenter" width="368" caption="Peristiwa 1965, Sebuah Tragedi kemanusiaan dalam Sejarah Bangsa"]

[/caption]

Kita tidak pernah tahu bahwa sesungguhnya peristiwa 65 tidak hanya menimbulkan korban dari kalangan Angkatan Darat (AD) tapi juga ribuan rakyat sipil yang tidak tahu menahu mengenai peristiwa tersebut karena dianggap terkait dengan PKI.

Mereka yang haknya dirampas, dianiaya, dilecehkan, diperkosa, di buang, diasingkan, di anggap bukan manusia, dan berbagai macam perlakuan yang dapat disebut sebagai pelanggaran atas hak asasi manusia (HAM).

Pengakuan Sarwo Edhi (mantan komandan RPKAD) yang bertanggungjawab atas operasi pembasmian orang-orang yang dianggap terlibat dalam ‘kudeta’ 1965, tercatat sekitar 3 juta orang yang telah di’lenyapkan’nya. Jumlah ini belum termasuk yang ditahan di berbagai penjara di daerah-daerah Beberapa lembaga korban peristiwa 1965 seperti Lembaga Penelitian Korban Peristiwa 65 (LPKP ’65), Paguyuban Korban Orde Baru (Pakorba) atau Yayasan Penelitian Korban Peristiwa 1965 (YPKP) mencoba melakukan penyusuran kembali data orang-orang yang ditangkap, ditahan, dianggap hilang dan dibunuh. Namun sampai saat ini belum ada angka pasti berapa jumlah korban peristiwa 1965 dari kalangan rakyat sipil yang dianggap terkait dengan PKI. Peristiwa 65 merupakan peristiwa besar dalam sejarah Indonesia. Begitu banyak pertanyaan yang timbul berkaitan dengan peristiwa tersebut.

Terdapat banyak skenario peristiwa yang dipaparkan oleh berbagai pihak yang menjadi saksi dan korban pada tahun 1965. Pemerintah orde barupun mengeluarkan sebuah buku berjudul “Gerakan 30 September, Pemberontakan Partai Komunis Indonesia,” sebagai dokumen resmi yang menjelaskan latarbelakang, aksi dan penumpasannya. Dokumen yang dikeluarkan oleh Sekretariat Negara Republik Indonesia tahun 1994, berhasil memberikan pemahaman pada generasi muda terutama yang lahir setelah 1965, bahwa peristiwa 1965 semata-mata peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia atau PKI.

[caption id="attachment_102628" align="aligncenter" width="263" caption="Peristiwa 1965, Sebuah Tragedi kemanusiaan dalam Sejarah Bangsa"][/caption]

Pada jaman Soekarno berkuasa, PKI merupakan partai yang memiliki massa yang besar. Terutama berhasil mendapat posisi dalam empat besar pada pemilu 1955. Apalagi terdapat kebijakan Soekarno dengan politik Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis) sebagai upaya mempersatukan bangsa Indonesia yang saat itu terbagi dalam tiga kekuatan yaitu kaum nasionalis, agamais dan komunis. Politik nasakom memberi ruang bagi ketiga kekuatan tersebut untuk saling mengembangkan diri dan menyatukan ideolgi dalam wadah-wadah partai politik. Ketiga kekuatan inilah yang mendukung ide-ide dan perjuangan Soekarno untuk melanggengkan kekuasaannya selama bertahun-tahun. Didalam perkembangannya, ide dan perjuangan Soekarno banyak didukung oleh kaum komunis dan sosialis, terutama dengan konsep marhaenisme, yang dekat dengan ide sosialis dan komunis. Soekarno sebagai pendukung utama ekonomi kerakyatan dapat dijawab dengan keberadaan PKI.

Tahun 1960-an Soekarno mengambil kebijakan anti nekolim (anti neo kolonialisasi, liberalisme dan imperalisme), yang artinya ketergantungan ekonomi kepada negara-negara blok barat diputuskan. Indonesia pun mulai melirik ke blok-blok timur. Soekarno membentuk hubungan poros Jakarta-Peking-Moscow. Negara-negara timur yang sosialis dan komunis. Akibatnya ajaran sosialis, komunis, marxis, dibebaskan. Bukannya salah untuk mempelajari semua ideologis yang ada, namun cita-cita luhur Soekarno yang ingin mempersatukan Indonesia dengan semua ideologinya tidak mungkin ketika ideologi itu saling bertentangan. Kalangan agama menuduh kalangan komunis tidak bertuhan, lalu kalangan komunis menuduh kalangan nasionalis pro dengan liberalisme dalam hal ini Amerika dan Inggris.

Ketika ‘perang’ ideologis saling tarik menarik dikalangan masyarakat Indonesia saat itu, pihak-pihak yang memang menghendaki kekuasaan Soekarno diakhiri karena dianggap sesudah terlalu lama berkuasa, mencoba memanfaatkan situasi tersebut. Peristiwa 1965 merupakan puncak dari segala pertentangan ideologis tersebut. Skenario-skenario politik berbagai pihak dimainkan dalam sandiwara perang ‘Bharatayudha’, sebuah perang saudara dalam pewayangan Jawa. Yang timbul kemudian adalah korban dari rakyat sipil yang tidak mengetahui sama sekali skenario-skenario politik yang tengah dimainkan. Para rakyat hanyalah menjadi wayang, yang siap di’korbankan’ oleh dalangnya. Intinya, peristiwa 30 september 1965 merupakan trigger factor bagi operasi paling efektif pembasmian sebuah ideologi.

[caption id="attachment_102629" align="aligncenter" width="270" caption="Peristiwa 1965, Sebuah Tragedi kemanusiaan dalam Sejarah Bangsa"]

[/caption]

Namun uraian diatas hanyalah sebagian cukilan kecil dari penelitian, riset dan kajian yang telah banyak dilakukan untuk mengurai skenario peristiwa 30 September1965. Beberapa hasil dan teori bahkan telah diuraikan dalam buku-buku dapat dibagi dalam 6 teori yaitu :

1.Skenario yang disetujui oleh pemerintah orde baru bahwa pelaku utama G 30 S adalah PKI dan Biro Khusus, dengan memperalat unsur ABRI untuk merebut kekuasaan dan menciptakan masyarakat komunis di Indonesia.

2.Skenario kedua yakni G 30 S merupakan persoalan internal AD, yang merupakan kudeta yang dirancang mantan presiden, Soeharto

3.Sedangkan untuk skenario ketiga bahwa CIA-lah yang bertanggungjawab dengan menggunakan koneksi di kalangan AD bertujuan menggulingkan Soekarno dan mencegah Indonesia menjadi basis komunisme

4.Skenario yang dibuat oleh Inggris dan Amerika bertujuan menggulingkan Soekarno

5.Merupakan skenario yang paling kontroversial dengan menempatkan Soekarno sebagai dalang dari G 30 S untuk melenyapkan pemimpin oposisi dari kalangan AD

6.Teori chaos, gabungan dari nekolim, pemimpin PKI yang keblinger dan oknum ABRI yang tidak benar

Teori atau skenario apapun yang dijalankan saat itu oleh pihak-pihak yang masih dianggap misterius, dikarenakan belum adanya kesepakatan untuk menunjuk satu pihak yang bertanggungjawab dalam peristiwa 1965, peristiwa tersebut telah menorehkan luka yang sangat dalam bagi sebagian besar warga Indonesia. Sekitar 500.000 juta jiwa telah menjadi korban, tewas dibunuh hanya karena diduga menjadi kader, simpatisan atau anggota PKI. Tragedi ini juga telah mengakibatkan penderitaan bagi 700.000 orang rakyat Indonesia termasuk keluarganya.

September tanggal 30, memang sudah lewat, namun ada yang perlu dicermati ketika memasuki bulan Oktober. Tanggal 1 Oktober yang disebut sebagai hari Kesaktian Pancasila, ternyata masih dirayakan dengan upacara di kawasan Lubang Buaya. Upacara tersebut ditujukan untuk memperingati ‘kesaktian’ dari Pancasila, sebagai lambang negara yang menurut sejarah Orde Baru akan digantikan oleh Palu Arit sebagai lambang komunis. Singkatnya, para komunis yang waktu itu tergabung dalam Partai Komunis Indonesia berencana mengkudeta pemerintahan Soekarno dan mengkomuniskan Indonesia.

Yang menjadi pertanyaan dalam benak saya, “apakah masih perlu kita memperingati hari tersebut berdasarkan penulisan sejarah yang dilakukan orde baru yang penuh rekayasa?” Sementara penulisan sejarah akan selalu bersikap subjektif karena ditulis oleh pihak yang berkuasa. Memang benar ketika peristiwa 1965 beberapa jendral angkatan darat terbunuh. Memang benar telah terjadi korban dalam peristiwa tersebut, dan korbannya tidak hanya dari golongan agama atau nasionalis tapi juga komunis. Semua pihak merupakan korban. Lalu apa yang harus dikritisi kembali?

Yang harusnya dikritisi yaitu pandangan-pandangan yang masih saja menganggap peristiwa 1965, terbunuhnya para jendral dan korban-korban lain dari non komunis dikarenakan golongan komunis ingin berkuasa. Tidak ada dokumen yang pasti yang menunjukkan komunislah dalam hal ini PKI yang bertanggungjawab atas semua. Bahwa kemudian yang terjadi adalah pembantaian dan penangkapan para anggota, simpatisan ataupun orang yang dekat dengan PKI, bukanlah suatu tindakan yang dapat dibenarkan.

Peristiwa 1965 merupakan peristiwa yang masih mengundang banyak pertanyaan bagi semua orang. Dan kenyataannya tidak ada satu dokumenpun yang dapat ditunjukkan oleh pemerintahan orde baru mengenai peristiwa tersebut sebagai upaya kudeta oleh PKI ataupun usaha penggantian Pancasila sebagai lambang negara. Karena bukti yang baru didapatkan bahwa pada dalam sidang penentuan Pancasila tahun…. sebagai simbol negara, justru dari PKI lah yang memiliki suara terbanyak dan mendukung Pancasila. Golongan agama justru ingin memberlakukan syarikat islam dan mengganti lambang Pancasila dengan simbol islam.

Jadi, ketika dikatakan PKI sebagai anti Tuhan, kita harus mulai kritis dengan membedakan komunisme sebagai ideologi dengan marxisme atau leninisme karena sebagai ide atas penghapusan sistem kelas dalam masyarakat, semuanya berbeda. Orde barulah yang menjadikan semua ideologi diatas sebagai larangan, yang artinya sama dengan anti agama

Maaf sebelumnya pabila tulisan saya tidak berkenan di hati saudara sebangsa dan setanah air......

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun