Mohon tunggu...
Penaku
Penaku Mohon Tunggu... Mahasiswa - Anak-anak Pelosok Negeri

Menulis adalah Bekerja untuk keabadian. Awas namamu akan abadi dalam tulisannya

Selanjutnya

Tutup

Humor

Si Doi

6 Juli 2022   16:13 Diperbarui: 6 Juli 2022   16:20 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humor. Sumber ilustrasi: PEXELS/Gratisography

Berbicara persoalan kekaguman, tentunya tiap individu memiliki sosok pujaan atau yang dikagumi. Rasa kagum adalah manusiawi dan itu mutlak ada bagi setiap manusia. Orang gila sekalipun kagum dengan kegilaannya, meskipun dia sendiri tidak menyadarinya.

Saya mengagumi banyak hal, ini bersifat parsial tapi nanti setelahnya akan ditulis secara cermat dan semoga teliti.

Kalau ditanyakan siapa orang yang paling dikagumi, maka jawaban sederhananya adalah orang tua (Ibu dan ayah). Banyak konteks untuk melihat siapa yang dikagumi, tapi untuk "Paling dikagumi" merasa bodohnya saya jika tak menyisipkan nama kedua orang tua.

Terlepas dari itu saya akan mencoba menyebutkan orang-orang yang pernah mengisi ruang-ruang kekosongan hati, romantisme dalam perjalanan sekolah sampai menuju perguruan tinggi, tempatku menempuh pendidikan sekarang.

Mungkin sebagai bagian dari pada teras tulisan, saya akan memfokuskan pada nuansa suka menyukai, rasa mencintai pada masa remaja, atau barangkali perasaan kagum saja, karena saya belum memiliki kapasitas untuk membahas kata "mencintai" itu.

Perasaan suka itu banyak warna ternyata. Kenangan yang tidak akan pernah saya lupakan adalah selalu menyukai seorang perempuan yang berbeda dari tiap jenjang, entah itu SD, SMP, SMA, sampai sekarang duduk di bangku kuliah. Aneh memang tapi inilah perasaan yang tidak konsisten, seperti inilah dinamakan berdebar-debar diawal, panas-panas tai ayam.

Dulu ketika menempuh sekolah dasar, saya sudah menempatkan dalam hati sosok pujaan atau yang dikagumi. Perempuan itu putih, rambutnya agak kekuningan, giginya tidak rapi, tapi kalau senyum, membuat ketir ini sanubari.

Parahnya adalah saya pernah lihat itu DOI mandi telanjang, dimandiin bapaknya lagi. Belum ada sensasi apapun kala itu karena  masih ingusan atau kita sama-sama baru bocah merangkak, baru lepas dari kandang. Seandainya sekarang melihat itu kembali, siapa yang tidak terangsang. Orang gila kecuali.

Pada perjalanan waktu, setiap ke sekolah selalu ada alasan mengapa saya antusias dalam mengikuti pelajaran, melirik dan mencuri pandang. Mengajak bicara DOI saja seketika ciut, ah bocil ini memang aneh bin goblok. 

Anak kecil selain suka permainan juga suka perempuan, tapi masih dominan mainnya, keliyuran tak jelas jalan kemana, yang penting pulang saat perut keroncongan.

Indahnya masa dulu sebelum gaway  mendera, dan bisa bersanding dengannya. Singkat kisah, kelas enam saya menjadi Wakil ketua kelas, untuk Ketua kelasnya si Doi itu. Mengalami peristiwa luar biasa pada saat itu adalah meja dan kursi yang diduduki ketua kelas ini dipenuhi dengan tulisan, untuk bahasa kasarnya adalah tulisan melecehkan.

Setelah itu masalah ini menjadi semakin panas, sampai semua bocah-bocah ingusan itu disumpah menjadi ketua Kelas oleh Kepala Sekolah, pokonya semua laki-laki menjadi ketua. Kemungkinan ini pengalaman buruk bagi si Doi yang tidak akan dia lupa sampai sekarang. 

Parahnya lagi itu, dimasa jabatannya sebagai ketua kelas tiada hari tanpa menangis, ulah siapa kalau bukan anak-anak nakal itu. Semoga perempuan yang pernah singgah di hati ini, baik-baik saja sekarang.

Lanjut Menengah pertama. Saat memasuki jenjang berikutnya, sosok yang dikagumi sebelumnya perlahan terkikis oleh jarak dan keadaan karena faktor beda kelas. Pada kelas VII adalah masa menciptakan kembali sensasi baru bersama seorang perempuan yang kali itu membuat hati semakin berdesir.

Karena kami satu kelas dengan DOI yang baru beberapa hari itu saling mengenal, selanjutnya adalah tahapan menjalani setiap proses pelajaran dalam kelas, tiada hari tanpa memandangi wajahnya yang agak tembem pipinya, sedikit cempreng suaranya dan dikenal oleh teman-teman alumninya sebagai sosok yang cerdas dalam kelas, tercatat sebagai juara umum pada sekolah dasarnya dulu.

Bukan saya namannya kalau tidak mau berkompetisi secara sehat. Sekalipun menempatkan dia sebagai sosok yang dikagumi tapi Doi juga adalah sosok lawan dalam kelas, maka dari pada itu tertanam dalam sebuah prinsip pada saat itu bahwa dia harus dibawah saya.

Sebagai ketua kelas, berdampak pada sesuatu hal melibatkan saya berinteraksi dengan para guru secara intensif. Ihwal inilah yang barangkali menjadi nilai plus tersendiri sehingga pada tiap akhir semester mendapatkan juara 1 dari 21 siswa. Sekiranya target melampaui Doi tercapai.

Selama tiga tahun pada jenjang menengah pertama, puji syukur kepada Tuhan yang memberikan riwayat kepada saya sebagai orang yang mendapatkan juara 1 selama tiga tahun berturut-turut. Itu akan selalu dikenang sampai saat ini dan seterusnya. Meskipun pada menjelang UAN SMP, saya merasa sedikit mengalami reduksi terhadap kompetensi diri, barangkali saat itu target juara umum tidak tercapai.

Pada sisi yang lain dalam suatu momen yang tak terduga, kecemburuan merubah drastis perasaan yang selama ini saya usaha jaga dengan sebaik-baiknya. Pasalnya, si Doi ini dengan teman kelas saya sendiri main kucing-kucingan didepan mata ini. Pada akhirnya jadi tingkah tidak normal jadinya, bahasa kerennya salah tingkah. Banyak sebenarnya kenangan masa remaja yang berhubungan dengan sosok yang dikagumi tapi barangkali ini hanyalah sebuah konklusi dari pada sekelebat kenangan yang sampai saat ini masih berkesan.

Saya merasa tidak akan pernah habis untuk menceritakan kenangan semasa dulu. Apalagi masa-masa remaja atau pubertas, banyak tingkah dan panas, kadang-kadang atau keseringan mengambil keputusan tanpa dipikir terlebih dahulu secara cermat. Saat ini apakah sudah masuk dewasa atau sedang mencari jati diri, itu masih menjadi tanda tanya.

Saat ini saya adalah seorang mahasiswa jurnalistik yang punya tujuan untuk mendapatkan kebahagiaan melalui senyum dua insan luar biasa yang mengajarkan sekian banyak hal terhadap tumbuh kembang diri. Mereka tidak cukup untuk sekedar dikagumi akan tetapi mencintai dan menyayangi adalah wajib sebagaimana mereka menyayangi anaknya, kendatipun kita tidak akan pernah setimpal membalas kebaikan mereka. Semoga orang tua kita diberikan kesehatan selalu dan senantiasa dalam naungan-Nya.

Terakhir barangkali, kamu yang saat ini kembali memberikan sensasi baru dalam sanubari, jangan terlalu banyak tingkah, karena itu bahaya dan rawan nanti dieksekusi. Hati-hati saja dan jangan terlalu lama membuat laki-laki menunggu dengan tanpa kepastian.

Saya Manusia belum manusia,  
Terimakasih..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun