Mohon tunggu...
Penaku
Penaku Mohon Tunggu... Mahasiswa - Anak-anak Pelosok Negeri

Menulis adalah Bekerja untuk keabadian. Awas namamu akan abadi dalam tulisannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perang Atau Cinta

26 Februari 2022   23:30 Diperbarui: 26 Februari 2022   23:36 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bukankah lebih baik kita bercinta saja dari pada Berperang ?

Peperangan selalu menyertai dua kubu yang beradu dan memiliki kepentingan. Masing-masing punya alibi tersendiri bahwa dirinyalah yang berada dalam jalur kebenaran.

Peperangan adalah imbas ketika cinta sudah tak lagi menjadi dasar dalam mengambil suatu kebijaksanaan. Dalam ihwal percekcokan pemikiran, hasrat, ideologi, atau kepentingan yang lain, klaim sudah menjadi santapan lezat bahwa unsur-unsur tersebutlah yang selayaknya harus terus menunjukkan taringnya meskipun dengan konsekuensi tragis.

Satu lagi menariknya adalah ketika muncul pihak yang lebih memilih untuk diam atau tidak menyatakan sikap daripada harus digiring untuk sama-sama merasakan percikan pergumulan. Lebih tepatnya mereka "Netral" saja atau berada dalam zona nyaman.

Lalu kemudian kenapa cinta harus diseret dalam masalah percekcokan ini, tidak sama sekalipun ada implikasi perang dengan cinta?

Sebagai jawabannya adalah Justru adanya kekacauan akibat dari peperangan muncul kepermukaan tatkala rasa hidup dalam realitas yang berbeda dan berkorban untuk manusia sekitar tidak lagi bercokol dalam sanubari, rasa seperti itulah arti cinta dalam sudut pandang penulis dari sisi yang paling sempit.

Semua orang bisa menafsirkan cinta berdasarkan apa yang telah dia rasakan dan pahami, itulah persepsi. Semua orang pun juga memiliki hak untuk merasakan akuisisi dari pada cinta itu bukan malah dicederai.

Kalau mau tahu lebih memahami esensi cinta lebih mendalam, sangat direkomendasikan untuk membaca karya tulis Jalaluddin Rumi, yang sering dinisbatkan sebagai penyair cinta yang masyhur.

Terlepas dari itu, perang pada kenyataannya sudah menjadi opsi terakhir ketika jalur diplomasi tidak lagi berhasil. Rusia yang saat ini menginvasi Ukraina telah meluluhlantahkan sebagian besar infrastruktur di ibu kota Kiev, atau wilayah timur Ukraina yang menjadi incaran pertama.

Sekalipun berdalih dengan pernyataan bahwa yang menjadi sasaran agresi militer adalah perkantoran militer, tapi kehancuran yang ada sekarang dapat kita saksikan melalui media bahwa betapa banyak yang menjadi korban, fasilitas pendidikan pun juga menjadi sasaran sabotase. Untaian Cinta hanyalah diksi-diksi yang seolah-olah tak memiliki implementasi sepeserpun.

Dimanakah cinta yang muncul pertama kali ketika serangan pertama digencarkan. Mengecam, mengutuk, menyesalkan, bahkan akan memberikan hukuman atas tindakan yang tak humanis itu. Dimanakah lembaga perdamaian itu yang katanya akan mengambil langkah?
Dimanakah pakta pertahanan itu yang akan sedikit meredam atau membantu?
hukuman yang akan diberikan masih sebatas lisan.

Bisa jadi senjata nuklir menjadi alasan ketakutan itu, siapa yang hendak meredam jika penyebab kepunahan massal itu sampai meledak atau mungkin sumberdaya alam yang melimpah menjadi alibi terkecil lagi.

Terlalu jauh mungkin mengarah ke situ. tetapi sudah cukup tangisan seorang ibu, anak kecil, orang tua, untuk menghentakkan relung kalbu kita, sampai hati kah sekedar menyaksikan lewat kepala mata yang terbuka.

Rusia apakah tak memiliki Cinta? Pastilah dasar dari apa yang telah dilaksanakan itu adalah cinta, terhadap dua wilayah yang pro Moskow yang secara terang-terangan di akui kemerdekaannya untuk meminta perlindungan.

Ukraina pun dengan tertatih menunjukkan bukti cintanya yang begitu luas terhadap bangsanya dari serangan berbagai penjuru. Volodymyr Zelensky dengan keteguhan yang luar biasa membutuhkan amunisi bukan tempat bernaung, sekalipun sedikit kecewa akan kebisuan tiba-tiba dari beberapa negara yang katanya akan membantu.

Hanya cinta yang didengungkan secara kolektif oleh semua negara, bisa sedikit memberikan tekanan terhadap ketegangan yang telah terjadi. Cinta kedamaian, hentikan peperangan, hidup dalam kenyamanan adalah kebahagiaan manusia seluruh dunia. Sehingga dari itu bukan tidak mungkin bisa terjadi Negosiasi melalui jalur diplomasi.

Indahnya bercinta tanpa ada peperangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun