Mohon tunggu...
Musa Dwi Oktovian
Musa Dwi Oktovian Mohon Tunggu... Administrasi - Pelajar

Suka foto buss

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menjaga Identitas Budaya: Dongkrek Jawa Timur dalam Dinamika Era Globalisasi

26 Februari 2024   17:16 Diperbarui: 26 Februari 2024   17:23 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjaga Identitas Budaya: Dongkrek Jawa Timur dalam Dinamika Era Globalisasi

Nama penulis: Musa Dwi Oktovian 

Kelas: 12 IPS 2 

Sekolah: SMAN 3 Kabupaten Tangerang

TESIS

Budaya asli Jawa Timur

Jawa Timur merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di bagian timur Pulau Jawa. Provinsi Jawa Timur didirikan pada tanggal 4 Maret 1950 berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Jawa Timur sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1950 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 2 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Jawa Timur. Provinsi ini secara keseluruhan terdiri atas 29 Kabupaten dan 9 Kota, dengan total 38 wilayah tersebut, Jawa Timur memiliki budaya yang kaya dan beragam. Dalam aspek kebudayaan, Jawa Timur dikenal dengan beragam tradisi, seni, dan kesenian yang khas, seperti wayang kulit, tari tradisional, musik gamelan,  dan batik.

Salah satu kesenian yang terkenal adalah Dongkrek, sebuah kesenian yang memadukan antara seni tari, musik, topeng, dan drama yang biasanya dipertunjukan dengan arak-arakan keliling kampung. Kesenian ini erat kaitannya dengan ritual yang diikuti oleh 34 orang penari dan pemusik. Dalam sajian ritual, Dongkrek digelar dalam suasana yang gelap, yakni tengah malam Jumat Legi/pada saat bulan suro. Namun, setelah meninggalnya Raden Ngabei Lo Prawiro Dipuro, keberlangsungan Dongkrek mengalami masa transisi. 

Kegiatan arak-arakan yang biasanya dilakukan pada setiap bulan suro mulai surut, dan bahkan kegiatan Dongkrek sempat hilang dari wilayah Mejayan. Hal tersebut dapat menjadi sasaran yang empuk dalam pernyataan bahwa anak muda malas atau tidak berminat meneruskan kesenian tradisional karena melekat dengan stigma yang membosankan. 

Juga pada kenyataannya mereka para anak para peneru, yaitu masyarakat asli yang seharusnya menjadi penerus malahan leih memilih berpindah haluan pada budaya luar terutama pada anak muda. Sehingga membuat kearifan lokal wilayahnya hilang. Keberlangsungan dongkrek mengalami kemunduran. Kegiatan arak-arakan yang biasanya dilakukan pada setiap bulan Suro/Jum'at Legi mulai surut, dan bahkan kegiatan Dongkrek hilang sama sekali dari wilayah Mejayan. Hal itu karena adanya pewarisan yang tidak mengakar pada keluarga Lo Prawiradipoera.

Oleh karena itu, di zaman sekarang meskipun Indonesia memiliki keragaman budaya yang melimpah, kita tidak dapat memungkiri bahwa saat ini hampir semua negara di dunia telah mengalami dampak dari globalisasi. Sebagai sebuah "ruang interaksi", era globalisasi bisa dilihat sebagai arena kontestasi yang terjadi antar berbagai elemen kehidupan manusia di seluruh dunia.

1 Dalam proses ini, globalisasi memberikan dampak yang mendua. Di satu sisi, globalisasi memberikan ruang keterbukaan terhadap setiap negara untuk mempromosikan nilai-nilai budayanya kepada negara lain. Akan tetapi di sisi yang lain, globalisasi menjadi ranah pertarungan bagi nilai-nilai yang ada di dunia. Nilai yang lebih dominan akan berkuasa dan tidak akan tunduk atau berakulturasi dengan yang menang. Kesenian seperti Dongkrek akan mulai tergeser kearah kesenian yang berdimensi komersial sebagai akibat proses industrialisasi, sistem ekonomi pasar, dan globalisasi informasi.

Agar kebudayaan Dongkrek dapat lestari, yaitu selalu dapat mempertahankan eksistensinya, maka diperlukan upaya-upaya untuk menjamin keberlanjutannya antara lain dengan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Pemanfaatan di sini meliputi upaya-upaya untuk menggunakan hasil budaya guna berbagai keperluan, seperti untuk menguatkan citra identitas daerah,
untuk pendidikan kesadaran budaya, untuk dijadikan muatan industri budaya, dan untuk dijadikan sebagai daya tarik wisata. Dengan demikian, pemanfaatan hasil-hasil budaya melalui pembangunan pariwisata merupakan salah satu langkah untuk menjaga identitas budaya dan hasilnya dapat lestari.

ARGUMENTASI
Filosofi Dongkrek


Dongkrek merupakan kesenian yang lahir sekitar tahun 1867 di wilayah Caruban yang saat ini berganti menjadi Kecamatan Mejayan, Kabupaten Madiun. Kesenian Dongkrek lahir di masa Raden Ngabei Lo Prawiro Dipuro yang menjadi Demang (Jabatan setingkat Kepala Desa) yang membawai lima desa. Dongkrek diciptakan dan ditujukan sebagai profesi atau ritual untuk mengusir pageblug atau
bencana kematian yang pernah melanda Desa Mejayan dan sekitarnya pada saat itu. Dalam sejarahnya, Raden Prawirodipuro pernah melakukan ikhtiar dengan cara meditasi atau bertapa di gunung kidul Caruban. Ia kemudian mendapatkan wangsit bahwa krisis pangan dan wabah penyakit yang terjadi akibat bala dan ulah dari kerajaan makhluk halus yang jahat atau pasukan gendruwo. Komposisi pertunjukan Dongkrek terdiri atas empat karakter penari bertopeng, yaitu karakter orang tua (Eyang Palang), Roro Ayu (Tumpi), Roro Perot (wewe putih), gendruwo atau Buta (Makhluk Halus). Kesenian Dongkrek yang berupa arak-arakan biasanya melibatkan masyarakat bukan sebagai penonton tetapi sebagai pelaku budaya turut menari. 

Nama Dongkrek dihasilkan dari alat musik yang dimainkan untuk mengiringi tarian Dongkrek yaitu Bedug yang berbunyi dong-dong-dong dan Korekan yang berbunyi krek-krek-krek, sehingga perpaduan kedua alat musik tersebut menjadi Dong-Krek. Selain daripada itu nama Dongkrek juga memiliki arti sakral di kalangan masyarakat Mejayan dan sekitarnya, kata tersebut berarti "Dongane Kawula Rakyat Enggalo Kasarasan". Pertunjukan kesenian Dongkrek memiliki sifat antara lain; (1) sakral, yaitu digunakan sebagai upacara ritual tolak bala. Dongkrek ini hanya dipentaskan setahun satu kali, dengan acara arak-arakan yang melibatkan seluruh masyarakat desa Mejayan. 

Sanggar kesenian Dongkrek yang masih mempertahankan pakem atau keaslian seni Dongkrek tanpa adanya perubahan adalah sanggar Dongkrek "Krido Sakti" pimpinan Walgito (2) kreasi seni (kreatif), sebagai kesenian rakyat yang tidak sakral, tidak ada kemenyan, tidak ada persyaratan dari keturunan palang Ngabehi Lho Prawirodipoero "Palang Mejayan", dengan iringan musik yang lebih ramai. (3) seni pertunjukan tidak sakral, tidak ada kemenyan, tidak melibatkan masyarakat untuk menari, tidak ada arak-arakan, tidak keliling kampung, dan tidak ada persyaratan dari keturunan "Palang Mejayan", dengan iringan musik yang lebih banyak dan dipertunjukan di studio atau panggung.

Menjaga Identitas Budaya Dongkrek dalam Menghadapi Globalisasi

Seni Dongkrek yang hampir saja tergerus oleh pergeseran zaman dan hanya bernapas di tempat kelahirannya yaitu Caruban, kini sudah mulai tumbuh kembali melalui adanya usaha pengembangan dari kantor Kabupaten Madiun pada tahun 1977. Mulai terbentuknya perkumpulan dongkrek merupakan jalan yang baru bagi kesenian tersebut untuk hidup kembali sebagai identitas budaya warga Madiun. Namun, pada saat itu, masyarakat yang bergabung dalam perkumpulan mengalami masalah hambatan ekonomi dalam pengadaan sarana/peralatan Dongkrek. 

Tak begitu lama, pada tahun 1980, kesenian Dongkrek mulai mendapat perhatian khusus dari Seksi Kebudayaan Kantor Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Madiun, Dongkrek mulai dikembangkan menjadi program unggulan setiap cabang dinas UPT TK, SD, SMP, SMA, SMK di mana setiap sekolah harus mempunyai satu grup Dongkrek.

Untuk memperkuat eksistensinya, seni Dongkrek diusulkan sebagai Hak Paten/Cipta milik Kabupaten Madiun. Pada tahun 2009, pemerintah mengesahkan Surat Keputusan Bupati Madiun Nomor: 188.45/677/KPTS/402.031/2009 tentang Penetapan Kesenian dongkrek sebagai Kesenian Khas dan aset Wisata Budaya Kabupaten Madiun.3 Meskipun Dongkrek kembali hidup, namun senimannya tetap tidak bisa menjadikan kesenian tersebut sebagai pegangan hidupnya.

Apalagi ketika kebudayaan lokal diberi bayaran yang lebih rendah daripada kebudayaan yang telah terakulturasi dengan kebudayaan yang dibawa oleh globalisasi. Hubungan antara tingkat kreativitas seniman dengan tetap mapannya seni pertunjukan tradisional kesenian Dongkrek memang mutlak diperlukan. Dewasa ini, penonton seni pertunjukan tradisional sudah tidak lagi menganggap seni sebagai bentuk ritual yang mengandung pesan sosial dan moral, melainkan sudah dianggap sebagai tontonan dan hiburan semata. Adanya perubahan pandangan tentang fungsi kesenian tradisional mengharuskan para seniman untuk tetap berkreasi dan menemukan gaya-gaya yang baru. Para masyarakat yang masih berniat, banyak juga melakukan pentas pada hari biasa untuk mempertahankannya. Hanya saja untuk tetap dapat berkreasi, para seniman memerlukan waktu, dana, dan tenaga pikiran yang tidak sedikit.

Untuk menghadapi tantangan yang ada, penulis dapat memberikan beberapa solusi untuk semua pihak yang kelak dapat dipertimbangkan dalam melestarikan kesenian Dongkrek. Pada era globalisasi, masyarakat lebih menyukai sesuatu yang instan dan anti ribet. Karena hari ini, hidup manusia tidak dapat berjauhan dengan internet. Para pihak yang berwenang dalam seni Dongkrek mula-mula dapat membuat website tentang kesenian Dongkrek yang memuat latar belakang/sejarah kesenian tersebut, melakukan promosi melalui pegelaran seni pertunjukan tradisional di pusat-pusat seni pada kota yang lebih besar jangkauannya, melakukan pengelolaan gedung kesenian sebagai pusat pengembangan kesenian dongkrek, dan tak lupa menyelenggarakan event pariwisata dengan melibatkan kesenian Dongkrek secara terintegrasi.

PENEGASAN ULANG

Kita acapkali kerap menyalahkan anak muda dan perkembangan zaman dalam hilang atau lunturnya budaya asli daerah, tapi lupa kalau orang tua dan masyarakat sekitar kita tidak ada yang memberi tahu dan mengajarkan. Para orang tua terlalu menuntut, tetapi tidak sepadan dengan keteladanan yang seharusnya ia berikan. Tak luput juga banyak contoh buruk yang diberikan oleh generasi tua dan di saat yang sama pula para generasi tua menaruh harapan yang baik dan sangat besar pada anak muda. 

Orang tua harus berani tampil dan menjadi contoh. Mengingat semua ini, Penulis teringat akan suatu pepatah, yaitu "Ngeli nanging ojo nganti keli" hal tersebut bermakna bahwa ikuti arusnya, tapi jangan sampai terhanyut. Penulis yakin dan percaya bahwa kesenian Dongkrek akan dapat selalu eksis meskipun harus bersaing ketat dengan pergeseran zaman. Harapan Penulis sangat besar untuk perkembangan kearifan lokal di masyarakat

DAFTAR PUSTAKA

Andalas, E. F. (2018). Meninjau Kembali Identitas Budaya Jawa di Era
Globalisasi. In Seminar Kebudayaan Jawa (pp. 1-12).


Hanif, M. (2016). Kesenian Dongkrek (Studi Nilai Budaya Dan Potensinya Sebagai Sumber Pendidikan Karakter). Gulawentah: Jurnal Studi Sosial, 1(2), 132-141.


Wahyuningsih, S., Prabawati, S., & Febriary, I. (2012). Revitalisasi Seni
Pertunjukan Dongkrek sebagai Upaya Penguatan Identitas Daerah dan Pengembangan Aset Wisata Budaya di Kabupaten Madiun Jawa Timur. Jawa Tengah: Surakarta Fak Sastra & Seni Rupa UNS.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun