Selama satu purnama, akan kucarikan untukmu satu malam yang benar-benar syahdu.
Suatu malam yang panjangnya mungkin melebihi usia kita.
Konon katanya, ialah malam yang diperuntukkan untuk semua orang, namun tak semua orang berhak memilikinya.
"Wewangian seribu kasturi, adalah jejaknya, tinggi semampai, putih berserih jubahnya, dan orang-orang mencarinya setiap malam-malam ganjil sepuluh terakhir Ramadhan; di hutan belantara, sungai, bahkan di makam-makam keramat." Konon kata tetua-tetua di desaku yang mengaku pernah menjumpainya.
Awalnya aku tak percaya kekasih, sebab itu aku ingin menyaksikan sendiri dengan mataku. Jika wewangian adalah ukuran, maka harummu sudah cukup bagiku menghambat hidungku sepanjang hayat. Tinggimu tak kurang semampai untuk menyangga kecantikanmu, sedang wajahmu yang kian berseri cukup menyinari kehidupanku selama ini.Â
Hastratku untuk menemukannya kumulai bukan di sepuluh malam terakhir dari penghujung Ramadan ini, bukan pula dari malam-malam ganjil yang absurd. Namun sejak malam pertama di gerbang Ramadhan, sewaktu jamaah sosialita masih sibuk-sibuknya mengupdate status "Marhaban Yaa Ramadhan," hingga "Selamat Menyambut Hari Raya Idul Fitri 1440 H" di media sosialnya. Aku pun telah mempersiapkan berlembar-lembar doa yang kutulis khusus, dan kubacakan di sepanjang Ramadhan kali ini, agar tak ada yang terlewatkan semalam pun.Â
Namun aku kian bersedih kekasih, sebab beberapa saat lagi telah sampai di penghujung jalan ini. Aku kian cemas, jikalau ada satu malam yang aku lalai mendoakanmu, teramat risau lagi jika beberapa malam tersisa tak dapat aku renggut seutuhnya.Â
Seribu Bulanku akan aku habiskan untuk mendoakan kebaikan atas mu senantiasa, sebab dengan begitu aku pun akan turut serta.
Tuhan bukannya ingin mengajak kita berteka-teki, namun Tuhan ingin menguji kesetiaan kita hingga akhir.
Yogyakarta, 2 Juni 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H