Banyak bencana yang terjadi di Indonesia sepanjang tahun 2018 ini. Beberapa diantaranya berdampak parah pada rusaknya infrastuktur dan menimbulkan korban jiwa. Sebut saja gempa 7 SR d Lombok, gempa dan tsunami di Palu,serta yang terbaru adalah "tsunami tanpa peringatan" di Banten dan Lampung Selatan. Indonesia memang menjadi negara yang paling rawan terhadap bencana di dunia berdasarkan data dari UN-ISDR. Indonesia menduduki peringkat tertinggi untuk ancaman bahaya tsunami, tanah longsor dan gunung berapi. Peringkat ketiga untuk ancaman gempa.
 Pemerintah Indonesia sudah seharusnya meningkatkan program mitigasi bencana kepada masyarakat. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Namun aspek ini sering diabaikan oleh pemerintah, sehingga ketika ada bencana yang terjadi, sering berdampak massal. Memang terkait mitigasi bencana bukan hanya karena kelalaian pemerintah, tapi juga masyarakat. Hilangnya alat deteksi dini tsunami di banyak tempat menjadi contoh bahwa masih ada saja orang yang melakukan vandal, yang tidak aware terhadap bencana. Belum lagi kasus korupsi terhadap proyek pembangunan gedung shelter tsunami di Pandeglang, menjadi contoh bagi kita bahwa ada saja yang mencari keuntungan di tengah bencana.
 Kendati demikian, tetap saja pemerintahlah yang memiliki tugas utama untuk membuat regulasi atau kebijakan yang membuat masyarakat sadar terhadap mitigasi bencana. Aksi mitigasi pemerintah juga jangan sampai termutilasi oleh kepentingan para kapitalis. Contohnya, garis sesar Lembang di Bandung yang memiliki panjang 29 km. Di sepanjang sesar Lembang masih banyak bangunan untuk tempat wisata. Bahkan terdapat hotel mewah yang berdiri tepat di garis sesar dan mendapatkan izin pemprov atau kabupaten. Padahal sebagaimana yang kita ketahui, daerah yang dilewati sesar bisa berpotensi gempa. Jangan sampai demi rupiah, keselamatan masyarakat diabaikan. Disinilah pemerintah harus bersikap tegas. Mitigasi bencana adalah tanggungjawab penguasa dalam mengurus dan melindungi masyarakat yang diwajibkan oleh Islam.
 Dalam penanggulangan bencana alam, kita bisa belajar dari kebijakan para Khalifah pada masa pemerintahan Islam. Untuk mengatasi potensi maupun masalah bencana, khilafah bisa menempuh tiga kebijakan sekaligus, yaitu preventif,kuratif, dan non teknis. Preventif : Kebijakan preventif ini dilakukan sebelum terjadinya musibah. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk mencegah terjadinya musibah. Hal ini bisa ditempuh diantaranya dengan : melakukan pemetaan wilayah rawan bencana, secara serius khilafah melalui badan seperti BMKG, dengan tim terbaik yang dikumpulkan dari seluruh dunia bisa melakukan kajian secara menyeluruh, cermat dan akurat untuk melakukan pemetaan iklim, kondisi cuaca, potensi panas, hujan, termasuk dampak dan pemanfaatan keduanya. Berikut rekayasa dan solusi yang dibutuhkan  jika menghadapi kondisi ekstrim, baik yang bersifat jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Hasil kajian, riset dan rekomendasi tim inilah yang akan ditindaklanjuti oleh khalifah atau badan terkait.
Harus pula dilakukan dua pendekatan: pendekatan tasyr'i (hukum) dan ijr'i (praktis). Adapun secara ijr'i, Pemerintah harus melakukan langkah-langkah, manajemen dan kebijakan tertentu; dengan menggunakan iptek mutakhir serta dengan memberdayakan para ahli dan masyarakat umum dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan. Menghindari bahaya hukumnya wajib, baik itu badai, banjir, tanah longsor, gempa bumi, tsunami, dan sebagainya. Tetapi, bahaya tersebut tidak bisa dihindari, kecuali dengan sistem peringatan dini [early warning], termasuk analisis BMKG. Penerapan sistem peringatan dini dan analisis BMKG ini bagian dari hukum ijra'i. Maka, baik hukum syara' maupun hukum ijra'i ini sama-sama pentingnya dalam menjauhkan diri dari bahaya.
Jika negara menerapkan hukum Islam, dan dengan pasti menyatakan bahwa menghindari bahaya hukumnya wajib, tetapi negara tidak menerapkan sistem peringatan diri [early warning], termasuk analisis BMKG dalam konteks bencana alam, maka negara dianggap melakukan kelalaian. Selain tindakan preventif yang bersifat teknis dan keahlian, Khilafah juga membuat peraturan berupa undang-undang yang mengikat.
Kuratif : Sebelum terjadinya bencana, Khilafah juga harus melakukan tindakan kuratif, ketika dan pasca bencana. Antara lain sebagai berikut:
Khalifah sebagai kepala negara tampil di televisi, radio atau sosial media untuk menyampaikan pidato yang isinya mengingatkan rakyat, agar bersabar dan ridha menerima qadha' Allah SWT. Meminta rakyat untuk bertaubat seraya menyerukan kepada seluruh rakyat untuk menolong dan membantu korban, dan mendoakan mereka.
Menangani korban bencana dengan bertindak cepat, melibatkan seluruh warga yang dekat dengan daerah bencana. Â Khilafah menyediakan tenda, makanan, pakaian, dan pengobatan yang layak agar korban tidak menderita kesakitan akibat penyakit, kekurangan makanan, atau tempat istirahat yang tidak memadai. Selain itu, Khalifah juga melakukan mental recovery, dengan melibatkan alim ulama.
Negara sendiri akan menyediakan alokasi anggaran untuk menghadapi bencana, bisa dari zakat, kekayaan milik umum, maupun yang lain. Dengan begitu, negara bisa bertindak cepat, tanpa harus menunggu uluran tangan masyarakat.
 Secara Non Teknis, khalifah juga akan memimpin umat Islam untuk memohon kepada Allah SWT, dengan mendekatkan diri kepada Allah, meninggalkan maksiat, baik melalui shalat , anjuran berdoa, mendoakan dan minta didoakan di hari, waktu dan tempat mustajab agar Allah menurunkan hujan untuk kemaslahatan umat.