Kedua, hal ini terkait berita media siber, Kompas.com (04 April 2020). Kompas.com melalui berita headline-nya menyebut, komunikasi yang dibangun pejabat Istana Kepresidenan dalam menghadapi pandemi Covid-19 dinilai buruk dan tidak profesional. Melalui berita itu, Kompas.com mengabarkan bahawa ada beberapa pihak yang dinilai menimbulkan kontroversi. Dalam siaran pers, Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman menerbitkan siaran pers dengan judul, “Mudik Boleh, Tetapi Berstatus Orang Dalam Pemantauan”. Hal tersebut menuai reaksi, dan sesaat diralat langsung oleh Menteri Sekretaris Negara, Praktikno. Melalui grup WhatsApp yang terdiri dari beberapa pejabat negara dan awak media, Praktikno menyebut bahwa pernyataan Fadjroel itu tidak tepat. Pratikno menegaskan, bahwa pemerintah tidak membolehkan mudik lebaran. Akhirnya, Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman merevisi siara persnya, dan merubah judul menjadi, “Pemerintah Imbau Tidak Mudik Lebaran, Bansos Dipersiapkan Hadapi Covid-19”.
Ketiga, kontroversi ini melibatkan Tenaga ahli utama Kantor Staf Kepresidenan (KSP), Ali Mochtar Ngabalin dengan Jubir Achmad Yurianto. Keduanya menyampaikan informasi yang beragam kepada awak media. Ngabalin menyebut ada satu tenaga ahli KSP yang positif Covid-19 dan tengah diisolasi. Hal itu sebagai tindak lanjut hasil rapid test, yang menyebut satu orang di KSP positif. Namun, Achmad Yurianto membantah kabar itu. Beliau menegaskan kembali bahwa tidak ada staf di KSP yang positif. Achmad Yurianto juga menjelaskan, bahwa hasil rapid test berbeda dengan hasil Polymerase Chain Reaction (PCR). Menurutnya, PCR menghasilkan validitas data positif atau negatif seseorang terhadap Covid-19. Sedangkan, rapid test tidak secara khusus mendeteksi keberadaan Covid-19 dalam diri seseorang.
Dari tiga fenomena di atas, menunjukkan bahwa terjadi miskomunikasi antar beberapa unsur di pemerintahan. Kondisi demikian hanya akan memperkeruh suasana. Padahal, keprofesionalitasan sangat dibutuhkan, karena hal tersebut berimplikasi kepada terjaminnya mutu informasi yang dibutuhkan oleh publik. Karenanya, berdampak pada keselamatan dan hajat hidup orang banyak. Miskomunikasi dapat saja tidak terjadi atau dihindari melalui komunikasi satu pintu. Artinya, Achmad Yurianto adalah unsur satu-satunya selain Presiden Joko Widodo yang berhak menyampaikan kebijakan, perkembangan, dan hal-hal penting lain terkait dengan penanganan Covid-19 di tanah air. Dengan demikian, pejabat lain harus menahan diri dalam menyampaikan informasi dan kebijakan pemerintah pada awak media. Tentunya, Media Pers harus sadar dan bersedia bekerja sama dengan cara mengolah data dan informasi hanya dari Gugus Tugas yang diwakili oleh Juru Bicara Achmad Yurianto. Media juga mestinya, lebih selektif menyebarkan informasi terkait Covid-19 kepada masyarakat. Jangan sampai terkesan, bahwa media ‘menari di atas penderitaan orang lain’, atau ‘mencari kesempatan dalam kesempitan’ hanya untuk komoditas bisnis media itu sendiri. Presiden dan Gugus Tugas juga mestinya mengarahkan semua jajaran untuk melakukan pelayanan informasi satu pintu kepada awak media dan publik eksternal. Dengan demikian, pemerintah akan kembali memperoleh citra positif, yang ditunjukkan dengan pelayanan informasi satu pintu secara profesional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H