Memasuki masa kemerdekaan, fungsi pers beralih menjadi fungsi membantu pembangunan negara. Pemerintah saat itu meminta insan pers, agar menyajikan berita atau artikel yang dapat memproduksi opini positif dan memotivasi masyarakat untuk berperan aktif dalam pembangunan bangsa dan negara. Karenanya, semua pers harus memegang teguh prinsip pers Pancasila, yakni Bebas dan Bertanggung Jawab. Fred Siebert, Wilbur Schramm, dan Theodore Peterson dalam bukunya Four Theories of the Press (1903) mengamati setidaknya ada empak kelompok besar teori (sistem) pers, yakni sistem pers otoriter (aouthoritarian), sistem pers liberal (libertarian), sistem pers komunis (marxist), dan sistem pers tanggung jawab (Social Responsibility). Indonesia seperti telah disebutkan di awal, menganut sistem pers tanggung jawab.Â
Seiring berjalannya waktu, media pers dikuatkan dengan hadirnya media penyiaran. Perkembangan teknologi komunikasi secara signifikan terjadi. Apalagi, saat itu telah diorbitkannya Satelit Palapa A dan Palapa B. Meskipun, terdapat kemajuan dalam teknologi, tetapi pers mengalami atmosfer yang tidak menentu. Sejak era orde lama hingga orde baru, pers mengalami fase 'ancaman' dari penguasa, jika kontennya dianggap terlalu tajam, Guna mendirikan dan mengaktifkan media saja perlu rangkaian birokrasi yang kompleks.
Namun, hal itu tidak menjadi permasalahan berlarut. Menyusul kebijakan Presiden Habibie yang lebih memanusiakan insan pers. Sebelumnya, mereka harus mendapatkan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers), sebelum mengeluarkan konten persnya. Namun, di Era Habibie, melalui kebijakan Menteri Yunus Yosfiah, SIUPP dicabut. Ini menjadi angin segar bagi insan pers di Indonesia.Â
Memasuki era reformasi, pers kian memperoleh kedudukan dan kebebasan dalam suasana demokratis. Berbagai media berkembang signifikan. Media khusus berita sudah tidak lagi TVRI, tetapi ada Metro TV dan TV One (Dahulu Lativi), dan saat ini ada Inews TV. Dan pada fase reformasi jilid II, media seperti itu mulai melakukan konvergensi melalui jejaring internet. Saat ini, media arus utama tersebut telah memanfaatkan media internet, dan telah memiliki platform media siber tersendiri. Uniknya, media pers yang bertahan secara konvensional dengan mengandalkan oplah cetak, sudah banyak yang berguguran. Misal, pada 2018, harian Surat Kabar Pat Petulai resmi tutup.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H