Namun tiba-tiba, Adit menarik saya ke tengah-tengah tempat pertunjukan. Ini jelas tidak ada dalam rencana awal. Dia minta saya berbaring. Baju saya bagian perut dibuka. Buah kol ditempatkan diatas perut. Mulailah dia mencincang-cincang kol diatas perut saya, dengan parang tajamnya. Beberapa penonton menahan nafas. Saya menutup mata, sambil memohon perlindungan Yang Maha Kuasa. Sehabis mencincang kol, Adit lebih menggila. Parangnya digorok-gorok dengan keras di kulit perut. Seperti orang memotong kerbau. Saya mulai merasa perih. Untung dia cepat berhenti, kalau tidak mungkin perut saya akan berdarah.
Rupanya tidak, dia belum berhenti. Dia mengambil pisau tajamnya dan mulai komat-kamit membaca doa. Pisau itu didekatkan ke leher saya. Waduh, saya langsung teringat peristiwa Ibrahim-Ismail saat awal penyembelihan korban. Jelas-jelas ini di luar skenario. Saya merasa takut sekali. Bagaimana kalau ada orang/penonton yang ilmunya lebih tinggi dari Adit. Bisa-bisa.... Awwwwww. Kaburrrr... akhirnya saya keluar dari arena pertunjukan. Hah.... Alhamdulillah selamat. Cukup ini yang pertama dan terakhir. Sayang saya nggak sempat ambil foto. Supir saya menyimpan foto, tapi gagal melakukan transfer ke BB saya. Hp cinanya mungkin tidak standar.
Selesai dari sana, kami menuju Museum Tsunami. Banyak sekali pengunjung disini. Sayangnya, museum tutup karena hari libur. Alhamdulillah kami sempat terhibur dengan adanya penampilan para penari-penari cari yang menunjukkan kebolehannya menari "selamat datang". Warning bagi para pengunjung yang ingin ke Museum Tsunami, jangan datang hari libur nasional atau jumat, museum tutup.
[caption id="attachment_217673" align="aligncenter" width="403" caption="Para penari.."]
Dari sini kami pun ke Rumoh Aceh, rupanya disinipun tutup. Akhirnya kamipun singgah minum kopi dulu di warung Maulidar, salah satu guide, sebelum melanjutkan perjalanan ke Rumah di atas boat Lampulo. Dari warung kopi, kami hanya perlu berjalan sedikit lagi kesana.
[caption id="attachment_217675" align="aligncenter" width="403" caption="Boat di atas rumah, tempat singgahan orang dan buaya"]
Dari Lampulo, kami menuju Alue Naga, sebuah tempat yang eksotis dan romantis untuk berdua saja. Kami hanya berhenti sebentar disini, terus menuju Kampung Jacky Chan. Disinilah, kampung para renters. Yaitu mereka yang ketika tsunami terjadi tidak punya tanah atau rumah, tetapi penyewa saja. Jacky Chan dkk menginisiasi 700 rumah untuk para korban tsunami yang berstatus renters ini. Bedanya adalah, bila korban biasa mendapat rumah ukuran 36, para renters hanya mendapatkan rumah type 24, sebab sebagian uang dibelikan tanah (150 m) lebih dahulu. Disini, para turis mendadak jadi model. Ditodong untuk berfoto bersama dengan wisatawan lokal.
[caption id="attachment_217676" align="aligncenter" width="403" caption="Alue Naga: a cozzy and romantic site in Banda Aceh"]
Dari kampung Jacky Chan, kamipun menuju Layeun untuk makan siang dan sholat dhuhur. Cafe Ujong Glee yang biasa kami pakai penuh dengan pengunjung. Ada yang bermobil dan ada juga yang bersepeda motor. Semua gazebo yang terletak diatas bukit penuh semua.
[caption id="attachment_217679" align="aligncenter" width="403" caption="Rick, on writing in such beautiful background"]
Tempat ini memang punya pemandangan yang sangat menawan. Apalagi dengan angin sepoi-sepoi yang berhembus dari bukit barisan yang membawa butir-butir air yang menyejukkan di tengah siang. Tempat yang sangat cocok untuk makan dan bersantai. Ahhh...bobo dulu ah.