Jakarta, magnet bagi migran dari berbagai kota dan desa di tanah air. Tak peduli banjir, macet ataupun polusi, mereka tetap berbondong-bondong merantau untuk merasakan nikmatnya hidup di kota besar di Indonesia. Termasuk saya.
Glamournya kehidupan kota, ternyata tidak sepenuhnya memberikan kesejahteraan yang cukup bagi pekerjanya. Untuk hidup sendiri saja, hanya sisa sedikit sekali untuk tabungan,apalagi jika seluruh keluarga kecil kita boyong semua ke Jakarta. Tentu penghasilan bisa-bisa minus. Biaya transport bolak-balik kerja, makan yang relatif mahal dibandingkan di kampung, sekolah anak dan berbagai macam kebutuhan sehari-hari lainnya.
Adanya keinginan memiliki tabungan dari hasil  kerja di Jakarta, menjadikan saya dan banyak pendatang lain dari berbagai kota di Jogja, Jateng,Jabar dan Jatim memilih melakukan sirkulasi (pindah dalam waktu tertentu secara periodik). Bekerja di Jakarta tidak membawa seluruh anggota keluarga. Mereka tetap hidup di kampung, sehingga seminggu sekali saya harus menemuinya. Dalam seminggu, hari senin sampai jumat, bekerja di Jakarta, kemudian Jumat sore pulang ke kampung. Minggu sore sudah balik lagi ke Jakarta untuk bekerja di hari senin nya. Situasi tersebut akan berubah, tatkala ada hari libur nan panjang, kejepit dll, jadwal pulang tidak jumat-minggu, tetapi menyesuaikan waktu libur.
Dalam sirkulasi ini, tentunya sangat membutuhkan sarana transportasi yang cepat dan terjangkau. Cepat karena harus sampai di tujuan on time pada saat bekerja, sedangkan terjangkau karena harus bolak-balik dalam jumlah yang banyak sehingga harga tiket perjalanan menjadi faktor penting untuk dihitung. Pilihannya jatuh pada kereta api. Adanya subsidi dari pemerintah, sehingga harga tiketnya 50 ribu rupiah untuk kereta ekonomi Jakarta-Jogja sangat membantu para sirkulator ini. Tahun ini (2014), informasinya bulan April subsidi dicairkan. Kita akan mengucapkan terima kasih dan semakin banyak penumpang menyerbu kereta ekonomi ini.
Permasalahan yang muncul,ketika arus kereta semakin deras,,jadwal menjadi padat yang tidak sesuai dengan jadwal normal pekerja. Misalnya kereta Progo, jadwal keberangkatan dari Jogja jam setengah 4 sore kemudian sampai di stasiun jatinegara/pasar senen jam 00. Kemudian disusul keberangkatan kereta berikutnya sampai jam 7 pagi.
Bagi yang tinggal di Tangerang, Depok, Bogor dll tentu tidak bisa langsung pulang ke rumah karena tidak punya saudara yang menjemput, rasa takut naik kendaraan umum atau pilihan menunggu commuter line yang baru beroperasi subuh atau jam 5 pagi. Konsekuensinya mereka harus menunggu di stasiun Jatinegara atau Pasar Senen. Pada saat menunggu dikala jam tidur, menjadi pilihan sirkulator dan penumpang lain tidur,karena mata tidak bisa diajak kompromi. Mereka tertidur di kursi-kursi yang disediakan untuk penumpang atau bahkan di emperan-emperan stasiun, yang terkadang harus berpindah-pindah jika hujan deras turun.
Yang sangat mengharukan jika ibu-ibu yang sudah sepuh, anak-anak menangis karena kedinginan atau perempuan muda yang kesusahan tidur kalau-kalau bajunya menjadi terbuka. Termasuk laki-laki juga sih yang kedinginan tertidur di kursi dan emperan.
Kejadian dini hari itu berulang tiap hari, terutama pas hari sirkulator baru datang ke Jakarta jumlahnya semakin meningkat. Alias stasiun menjadi penuh. Terbersit keinginan (harapan) bagaimana ya, jika pengelola stasiun memberikan fasilitas ruangan untuk transit (sekedar tidur) dari jam 1 sampe subuh. Bukan hanya emperan atau kursi yang dingin. Saya kira penumpang pun akan mau membayar, jika memang fasilitas itu ada. Ehem sekedar mimpi dan berangan. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H