Sewaktu saya masih kecil, sekitar tahun 1980-an bekerja menjadi tukang rosok atau biasa dikenal dengan sebutan pemulung sangat tabu, berkonotasi negatif, dicap tukang nyolong, pencuri dan sebagainya. Akan tetapi, walaupun dicap negatif banyak juga masyarakat yang menukarkan barang rongsokan yang dimilikinya kepada tukang rosok itu. Memiliki barang rongsok; kaleng bekas, botol bekas, ember plastik pecah, koran atau kertas-kerta bekas yang tidak bisa dipakai dapat ditukarkan dengan “gulali” (pintalan gula yang dikasih sunduk kayu), bumbu-bumbu dapur; bawang merah, bawang putih dan garam kepada tukang rosok keliling. Pada waktu itu alat penukarnya bukan uang.
Konotasi negatif terhadap tukang rosok itu diwujudkan dalam bentuk tulisan-tulisan yang bernada geram dan mengancam akan keberadaannya. Semisal kata-kata “Pemulung di Larang Masuk” hampir terlihat di sudut-sudut kampung, baik di desa atau kota di dekat tempat pembuangan sampah. Bahkan ada pula yang saking geramnya pada tukang rosok ini, menambah tulisan Pemulung dilarang masuk dengan tambahan; Pemulung Masuk; Kepala Benjut, masih ngeyel kepala bocor, tetap ngeyel rawat inap/mati, atau mutilasi (wordpress.com)
Menjelang tahun 2000an, terjadi perubahan stigma masyarakat terhadap tukang rosok ini. Walaupun secara formal masyarakat masih menganggap tabu akan keberadaan pekerjaan tukang rosok ini, tetapi ada sedikit permakluman terhadap mereka. Tulisan Pemulung Dilarang Masuk masih tetap ada dan ditulis dengan huruf besar-besar, akan tetapi banyak warga masyarakat di dalam kampung itu justru yang bekerja menjadi tukang rosok, baik sebagai pengepul atau hanya pengecer.Masyarakat pun mulai merasakan manfaat akan keberadaannya. Kebiasaan tidak membuang barang-barang yang tidak berguna, menyimpannya, keinginannya untuk mendaur ulang limbah dapat disalurkan melalaui tukang rosok dengan penggantian uang.
Tentunya faktor penyababnya sangat beraneka ragam, termasuk krisis ekonomi yang semakin menjadikan masyarakat sangat subsisten. Hingga mereka mau menjalankanpekerjaan apa pun untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Tentunya tidak jauh berbeda dengan pekerjaan sebelumnya, pekerjaan di sektor informal. Termasuk menjadi tukang rosok ini.
Pengepul rosok biasanya disebut sebagai juragan yang membeli barang rongsokan dari tukang rosok keliling. Disebut juragan tentunya mereka mempunyai modal awal untuk membeli barang-barang tersebut atau tidak gratisan. Mereka bisa menyewa sebuah rumah kalau mereka pendatang atau bahkan rumah milik sendiri di sebuah kampung untuk menampung semua barang-barang dan mengklasifikasikannya itu menjadi beberapa jenis; plastik, kertas, besi dan bahan lainnya. Apabila stok barang sudah memenuhi target sekali angkut, maka akan datang truk-truk yang membeli barang dari pengepul dan disetor pada perusahaan daur ulang barang-barang rongsok. Untuk kasus di Yogyakarta, barang-barang rongsok di pengepul disetor ke Surabaya.
Sementara itu, tukang rosok keliling melakukan operasinya dengan cara membeli dengan uang secara keliling ke rumah-rumah penduduk atau mencari barang-barang rongsok itu di tempat sampah. Botol bekas sirup, madu dan sejenis itu biasanya dibeli dengan harga seribu rupiah, kertas bekas satu kilo seharga sembilan ratus rupiah yang kemudian dijual kepada pengepul dengan harga seratus sampai dua ratus rupiah lebih tinggi dari harga beli yang diperoleh dari keliling sebagai keuntungan. Alat penukar yang digunakan saat ini bukan barang seperti tahun 1990an, tetapi sudah berupa uang. Keuntungan besar yang diperoleh tukang rosok keliling adalah ketika mereka mendapatkan barang-barang rongsok yang bernilai jual tinggi di tempat pembuangan akhir sampah tanpa harus membeli.
Keterbukaan masyarakat terhadap pekerjaan ini ditandai dengan semakin banyaknya masyarakat yang bekerja sebagai pengepul atau tukang rosok keliling, baik di teritorial kota ataupun desa. Ada masyarakat yang menjadikan pekerjaan ini sebagai pekerjaan pokok dan ada yang menjadikan sambilan karena memiliki pekerjaan pokok yang lain.
Pekerjaan pokok, tatkala masyarakat di kota tidak terserap pada pekerjaan formal, baik negeri atau swasta, sedangkan di desa karena keterbatasan lahan yang dimiliki sehingga tidak bisa menggarap lahan untuk bertani. Apalagi keadaan iklim yang tidak menentu ini, produksi pertanian tidak bisa diharapkan hasilnya, masyarakat desa akan melakukan apa saja untuk subsisten diri dan keluarganya.
Pekerjaan sambilan, tatkala ada kebutuhan pokok yang tidak bisa terpenuhi, sehingga memerlukan tambahan penghasilan. Solusinya adalah pekerjaan praktis dilakukan yang tidak memerlukan keahlian khusus, semacam tukang rosok ini.
Pada periode 1990an, tatkala masyarakat masih menganggap tukang rosok adalah tabu sebagai sebuah pekerjaan, tidak banyak masyarakat yang menggeluti pekerjaan itu. Masyarakat sangat malu dan enggan bahkan dikucilkan ketika bekerja menjadi tukang rosok. Di teritorial kota, komunitas tukang rosok berada pada satu komplek perumahan. Sementara di desa langka yang bekerja sebagai pemulung.
Pada periode 2000an, ketika masyarakat semakin permisif dengan pekerjaan ini, kuantitas masyarakat yang menggelutinya pun semakin bertambah. Implikasinya pekerjaan ini semakin diterima sama dengan pekerjaan yang lain di sektor informal; penjual keliling, kaki lima dan pekerjaan informal lainnya. Kondisi seperti ini menyebabkan anak-anak pun juga banyak yang terlibat menjadi tukang rosok. Selepas pulang sekolah, karena uang habis untuk jajan dan ingin membeli jajan lagi maka mencari barang-barang bekas di tempat sampah lebih dipilihnya daripada mengerjakan pekerjaan rumah dari sekolah. Mendapat uang lebih cepat alasan yang dikemukakan mereka. Tidak bisa dibayangkan akibat yang ditimbulkannya 5 sampai 10 tahun mendatang, apabila generasi bangsa ini, lebih menyukai pekerjaan ini dibandingkan dengan belajar di sekolah.
Masalah lingkungan juga menjadi sorotan. Penampungan barang-barang rongsok yang berada di sekitar perkampungan warga menyebabkan pencemaran lingkungan; bau yang tidak sedap, banyak binatang yang menyebabkan penyakit, mengganggu kerapian lingkungan dan barang-barang berserakan ke rumah warga yang lain. Tentunya masyarakat menjadi resah karenanya. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H