Bagi pria, pernikahan itu kini hanyalah trend, seks dan tong kosong. Padahal sebagai pasangan (suami-istri atau bukan) bersatunya dua hati itu harusnya membawa kebahagiaan bagi seorang pria. Betul?
Ok. jika Anda menjawab bahagia, mungkin Anda baru saja hidup bersama, baru menikah atau baru saja dikarunia seorang anak. Akan tetapi, sebagai pria yang sudah hidup bersama dengan pasangan lebih dari 5 tahun, pertanyaan tersebut akan dijawab dengan "nyengir". Dan semakin bertambah tahun akan dijawab dengan "poker face".Â
Wajah tanpa ekspresi adalah jawaban paling aman bagi seorang pria mengingat kalau sampai informasinya bocor (ketahuan pasangan), masalah kalimat yang sederhana (kadang bermaksud untuk bercanda) bisa menjadi urusan yang sangat pelik. Saking peliknya, banyak pria lebih memilih menyelesaikan masalah di kantor ketimbang pulang ke rumah.
Percaya atau tidak, ada begitu banyak konflik dan miskomunikasi yang terjadi saat menjalin hubungan berpasangan. Kalau tidak percaya berarti Anda belum berpasangan. Saking banyaknya sampai-sampai perempuan seringkali berucap "mereka tidak seperti pria pada umumnya". Dan karena itu para pria akan menjawab dengan "mereka sudah lupa cara menjadi perempuan". Konsekuensi dari pernyataan tersebut dan yang sejenis, hilanglah 'kerjasama' dan 'keintiman' sebagai pasangan. Yang harusnya bekerja bersama menjadi bersaing siapa yang paling benar atau siapa yang salah pada setiap kesempatan berkomunikasi.
Jrengg... kini sampailah kita pada masalah utamanya... Benarkah para pria tidak lagi tertarik untuk menikah karena pernikahan itu adalah trend, seks dan tong kosong? Begini...
Trend
Di Inggris misalnya, pada tahun 1972, Â 480.285 pria mengikatkan diri dalam "tali" pernikahan. Namun pada 2011 hanya setengahnya yang rela mengikatkan diri. Belum ditambah kehidupan para pesohor yang bangkrut setelah digugat cerai oleh mantan istrinya. Pengalaman-pengalaman mereka akhirnya menjadi bahan obrolan yang lucu tapi cukup mengena bagi para pria. "kalau kamu punya potensi untuk kaya, sebaiknya siapkan perjanjian pra nikah".Â
Bagaimana dengan di sini? Obrolan yang hanya menjadi konsumsi para"priayi" sampai ke kalangan bawah dalam rupa yang berbeda, perempuan sekarang matrek. Tidak ada perempuan masa kini yang tidak ingin tampil cantik dan glamour. Saking pinginnya sampai-sampai memakai merek mahal tapi palsu pun masih dianggap bisa menaikkan nilai tampilan.Â
Dengan bantuan media, dan saya dalam tulisan ini,  wajah ngeri sebuah pernikahan tidak hanya berhadapan dengan perempuan yang berorientasi pada materi, tetapi juga harus berhadapan dengan trend bergesernya oreintasi seksual para pria. Tidak perlu digali alasannya, yang jelas ketika perempuan pergi keluar, ke mall mencari pria ganteng  berbadan tegap untuk dijadikan pasangan, mereka akan mendapati pria-pria tersebut sedang  bergandengan tangan dengan mesra. Jrenggg...
Seks
Kalau kita mau mengakui, alasan pria untuk menikah itu salah satunya adalah sensasi berbagi tubuh. Bahkan saking nikmatnya berbagi hangat tersebut sampai memunculkan kalimat-kalimat luar biasa, "Menikah itu tidak enaknya hanya 1% selebihnya ueeeeeennnnaaak".
Nah, untuk yang 99% tersebut seorang pria harus (terpaksa, secara tradisi dan agama) melalui pintu pernikahan. Atau ada juga yang kelewat bekerja keras dalam meluruhkan busana perempuannya sampai-sampai lupa bahwa apa yang dikerjakannya berakibat pembuahan.
Cilakanya, (saya tidak ingin mengatakan perempuan itu 'gampangan') ketersediaan perempuan yang memaksa para pria untuk menikahinya sebelum mengawini kini semakin berkurang, boleh dibilang drastis. Akibatnya, kebutuhan laki-laki akan seksual terpenuhi tanpa harus mengikatkan diri pada ikatan pernikahan. Tapi bukan berarti para pria ini melakukannya tanpa cinta. Bukan. Para pria butuh cinta, butuh diperhatikan, butuh disenangkan, butuh dimanjakan, butuh permainan.Â
Tong Kosong
Kalau para pria tidak bisa lagi menemukan kesenangan atau kebahagiaan dalam pernikahan, lalu buat apa menikah? Para pria itu bahagia jika punya waktu dengan teman-temannya. Pria itu bahagia jika sedang bercengkerama dengan hobinya, dari mulai hewan, sampai koleksinya. Pria itu berbahagia kalau sedang bermain. Pria itu suka membicarakan dan mengeksploitasi tubuh perempuan. Pria itu suka jika dihormati dan diperhatikan.
Sekarang, apakah pernikahan mengakomodasi kebutuhan pria? Jangan-jangan pernikahan itu hanya tong kosong. Sudah gak ada isi, masih ditambah lagi ketika periode bulan madu purna, harta yang dulunya ditabung untuk hidup pernikahan harus rela terpisah darinya. Atau bahkan harus rela meninggalkan rumah yang diangsurnya selama beberapa tahun dan yang masih akan tetap diangsurnya kemudian, demi harkat anak-anaknya. Rumah kost kemudian menjadi pelabuhan sementaranya.
Jadi, bagaimana? Maksud saya solusinya? Ada? Siapa yang bersedia mengalah untuk pria? Atau bersediakah pria mengalah untuk perempuan? Kalau tidak ada yang bersedia? Ya...mungkin para pria akan makin yakin bahwa pernikahan itu seperti ikan yang membutuhkan sepeda untuk mengarungi hidupnya.
hehehe... marilah kita #wahing saja.... whuaaaaahingggggg waterrrmelonnnn...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H