Mohon tunggu...
fxfelly murwito
fxfelly murwito Mohon Tunggu... -

bapak satu istri dan satu putri.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Media Sosial Bukan Tantangan tapi Peluang

10 Desember 2017   20:20 Diperbarui: 10 Desember 2017   21:05 1081
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menanggapi artikel 'Skeptis pada Media Sosial, Tantangan bagi Generasi Milenial' Muhamad Afifudin Alfarisi yg mengatasnamakan Perhimpunan Pelajar Indonesia.

Ketika ruang bersosialisi generasi masa depan dianggap sebagai masalah sosial. Mungkin, disitulah letak gagal pahamnya generasi yang lahir sebelum media sosial hadir. Generasi yang lahir dari orang tua yang masih memiliki ikatan lekat dengan ruang sosial yang disebut nongkrong. Si Bung Alfarisi ini melihat media sosial adalah ancaman bagi generasi. Cara pandang saya berbeda, maka ijinkan saya membedah kalimat demi kalimat, bagian-bagian demi bagian yang 'dimuat' di kompas.com.

Dalam pengantarnya, Si Bung Muhamad ini berpendapat bahwa, sejak lahirnya media sosial pengguna internet naik berkali lipat. Ada benarnya, tetapi tidak sepenuhnya benar. tidak mutlak dan tidak 100%. Faktor lainnya masih ada. Sebut saja faktor bisnis bandwidth dan perkembangan gawai.

Kesimpulan dari pengantar tersebut, bahwa manusia, atau lebih sempit lagi generasi millennial kecanduan media sosial karena takut ketinggalan informasi (fomo-Fear of missing-out) yang tercipta karena Internet. Dan untuk meyakinkan pembaca, Si Bung ini menambahkan informasi tentang hormone dopamine yang membuat orang merasa senang. Memang nyambung, sih. Tapi tidak secandu itu kok.

Begini, hubungan antar manusia itu berkembang. Dulu untuk berkomunikasi jarak jauh harus menggunakan kode. Orang Indian pakai asap, ada yang pakai burung merpati, atau kode berantai. Intinya adalah berkomunikasi dengan orang atau sekelompak orang yang jauh. Perkembangan kebudayaan dan pola piker membuat laju percepatan teknologi komunikasi melesat bagaikan kilat.

Kisah telegraf yang ditemukan Samuel F.B Morse hingga Thomas Alfa Edison membutuhkan waktu ratusan tahun untuk menjadikan telegram indah (berwarna dan bergambar). Begitu juga dengan telepon, butuh ratusan tahun untuk menjadikannya nir kabel. Bagaimana dengan internet, untuk menjadi seperti yang sekarang hanya butuh waktu 30 tahun. Tidak usah dibayangkan bagaimana nanti kita berkomunikasi, karena orang-orang yang lahir tahun 60an saja tidak mampu membayangkan bisa berbicara lewat segenggaman tangan, tanpa kabel, dan ada gambar bergeraknya, pula.

Perkembangan teknologi tidak bisa dihindari. tidak bisa di curigai, apalagi diragukan. Kita adalah bagian dari zaman. Yang paling mungkin adalah mensiasati teknologi menjadi peluang. Peluang untuk bisnis, peluang untuk mendapatkan beasiswa, apapun selain dampak buruk.

Dalam sub judul "Internet dan ketaksadaran global" seoarang aktifis pergerarakan pelajar di luar negeri memandang internet sebagai mesin informasi yang tak bisa mati yang menyamaratakan manusia dilautan informasi. Dalam ranah sosial dan budaya ada yang disebut cyberculture. Semua hal yang terkait dengan budaya penggunaan komputer, bandwidth, hiburan, dan usaha dalam dunia cyber diteliti, dianalisa, dijadikan data, diunggah, dibukukan untuk dibaca oleh siapa saja yang ingin mempelajari tentan budaya yang terkait dengan dunia cyber. Termasuk apa, kenapa dan bagaimana para manusia pengguna cyber.

Apakah karena dunia cyber membuat 'ketaksadaran global'? Sepertinya enggak. Bahkan dari dunia cyber muncul banyak hal yang bersifat 'berbagi'. Banyak usaha dunia cyber yang dasar pembuatannya adalah 'share'. Contohnya, transportasi daring, agen pariwisata daring, Wikipedia, google, dan bahkan kegiatan amal dan sosial bisa dijadikan usaha daring. Kenapa berbagi? Mungkin karena bawaan genetisnya. Sejak dikembangkan bersama diawal tahun 80an, dunia cyber adalah dunia berbagi. Dimulai dengan puluhan komputer, ratusan, ribuan, lalu lahir domain (DNS), IP, dan IRC chat yang... duh jadi kangen sama IRC, Bung Alfarisi kemungkinan belum lahir. hehehehe.

Apakah karena dunia cyber, maka mahluk hidup yang bernama manusia secara global kehilangan kesadarannya? Menurut saya kok malah makin melek informasi. Masalah mereka malas memferivikasi, itu karena efek dari pendidikan ala orde baru. Literatur dibatasi. Kita belajar tidak dibiasakan dengan beragam literatur tapi sudah disiapkan secara instan dan versi pemerintah dalam bentu buku pelajaran (masih berlaku hingga hari ini). 

Perpustakaan dibanyakin buku cerita dan dongeng. Dan sebagainya, dan sebagainya. Jadi kalau kaoem yang disebut oleh Si Bung di sub Judul "Kebiasaan antiferivikasi" tidak mampu memferivikasi berita atau unggahan seseorang, ya, maklum. Mereka bukan produk yang disiapkan untuk itu. Mengecek kebenaran itu hukumnya jelas, makar! Dulu.... lho..

Apakah karena dunia cyber, maka orang menjadi skeptic terhadap informasi dan berita? Menurut saya kok tidak. Bukinya setiap berita yang dibagikan di aplikasi percakapan makin ramai dan beragam. Memang menjadi tidak jelas sumber infonya, tapi bukan berarti tidak peduli apa lagi meragukan berita. Bagi yang meragukan, setelah membaca pasti di hapus atau tidak membagikannya lagi ke-grup atau rekan dan kawan.

Di era cyber ini, ferivikasi menjadi nomer sekian karena yang utama adalah kecepatan, judul berita yang sanggup memancing pembaca. Makanya dikalangan media daring, kata 'Inilah...', 'Bahaya..', 'Awas..' adalah kata-kata yang kastanya sejajar dengan tuhan. Dengan judul yang clickbait, klik meningkat, begitu juga dengan komen dan yang berujung pada penilaian tertinggi yaitu keterlibatan pembaca. Hal ini tentu berbanding terbalik dengan pendapat Si Bung yang mengatakan bahwa karena berita-berita cenderung 'ngawur' lah maka pembaca menjadi enggan untuk menanggapi.

Nah, sekarang sampailah kita pada pembahasan terakhir. Dua sub tema 'Generasi milenial zaman now' dan 'Tantangan dan peluang milenial' akan saya jadikan satu bahasan karena intinya adalah bagaimana sikap generasi milenial menghadapi duni cyber. Sepembacaan saya dua topik ini tidak menyimpulkan tentang anak milenial yang skeptis. harusnya sih begitu. Namu ada pernyataan diatasnya yang mengatakan bahwa generasi milenial bakal menyulitkan perusahaan-perusahaan tempatnya bernauh. Ya, hal ini memang menjadi keluhan umum. Namun, bukan berarti benar.

Untuk menjawab masalah perusahaan yang kesulitan dengan generasi milenial, ada baiknya jika dimunculkan pertanyaan ini: Apakah karena perilaku dan kebiasaan generasi yang malas, yang selalu ribet dengan fasilitas di tempat kerja, kutu loncat (cari gaji yang lebih tinggi), berlagak bossy karenanya tidak mau dipimpin (didikte), maka sebuah perusahaan runtuh? Apakah karena mereka pula, toko-toko ritel berlomba menutup gerai? 

Jawabnya tentu tidak. Google bahkan telah membuktikan, bahwa dengan fasilitas yang luar biasa untuk karyawan, bahwa dengan membahagiakan karyawan, keuntungan perusahaan meningkat. Kalau ada perusahaan masa kini, zaman kini, jaman now, yang merasa keberatan dengan karyawan generasi milenial, hanya ada satu kata untuk itu, pelit!

Nah, sebagai penutup, saya sarankan Bung Muhamad Afifudin Alfarisi yang Mahasiswa Graduate Institute of Philosophy, dari National Central University di Taiwan, sila di baca buku-buku atau jurnal-jurnal tentang cyber culture dan study culture. Dan alangkah indahnya ketika sebuah tulisan semacam ini muncul dan diawali dari sebuah diskusi. Sepertinya akan lebih 'terpelajar'.  

salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun