Pertama kali jalan desa depan rumah kami dilewati sepeda motor ketika saya sekolah kelas satu SD. Buat kami sepeda motor adalah barang super canggih yang mampu membuat kami melongo. Kagum. Mungkin banyak yang akan tidak percaya kalau saya ceritakan bahwa kami selalu mengejar sepeda motor itu dengan tujuan mencium aroma asap knalpotnya. Aroma yang belum pernah kami kenal sebelumnya. Aroma dari asap knalpot yang setelah dewasa kami mengerti itu adalah zat-zat pencemar. Tapi benar lho, aroma itu menggairahkan.
Jalan desa belum beraspal, hanya jalan tanah yang berlumpur di kala hujan. Sepeda motor seringkali tidak bisa bergerak rodanya. Kami selalu siap membantu nyoleti tanah liat yang menempel di roda. Ikhlas. Ikhlas awalnya. Keikhlasan itu berikutnya ternoda ketika salah seorang pengendara memberi kami sejumlah uang sebagai ucapan terimakasih. Berikutnya kami mengerti bahwa kegiatan itu bisa menghasilkan rejeki.
"Solet, Pak?" kami menawarkan jasa dengan upah duapuluh lima rupiah. Tapi kami tidak mau menerima pemberian jika sepeda motor yang disoleti adalah milik seorang guru. Kami ikhlas.
Suatu hari sekolah kami mendapatkan guru baru. Pak Guru baru itu memiliki sepeda motor. Betapa gembiranya hati kami menerima kedatangan pak guru. Alasan utamanya adalah kami bisa mengamati dan mengelus-elus sepeda motornya sepuas-puasnya. Tidak ada satu bagianpun yang tidak terjamah, termasuk knalpot yang masih panaspun dengan sengaja terpegang.
Perhatian saya tersedot pada benda kecil bulat yang nyembul di pelek, di antara pangkal jari-jari roda. Benda kecil bulat itu ditengahnya ada benda lebih kecil lagi nyempil. Dengan potongan lidi saya menusuknya.
"Ssss...!" saya kaget karena tiba-tiba ada suara mendesis keluar dari benda itu. Spontan perhatian kami tertuju pada suara itu. Saya memberi tahu teman-teman bagaimana suara itu muncul. Bergantian kami melakukan hal yang sama berulang-ulang sambul tertawa-tawa kegirangan.
Kami berhenti ketika suara desis itu lenyap dan menyadari ban sepeda motor telah kempes total. Perlahan-lahan kami undur diri satu persatu meninggalkan sepeda motor. Kami berjalan mundur sambil mata kami tak lepas dari ban yang lunglai. Selunglai diri kami yang ketakutan.
Maafkan kami Pak Guru. Kami hanya sedang belajar!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H