Mohon tunggu...
Murwat
Murwat Mohon Tunggu... wiraswasta -

Trimo Ing Pandum

Selanjutnya

Tutup

Humor

Saya Dikira Tukang Es Campur

23 Juli 2011   15:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:26 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sabtu siang kira-kira jam sebelas, saya duduk mencari udara segar di taman kecil dekat rumah.  Cuaca cerah dan panas matahari menyengat tajam.  Maklumlah mungkin musim kemarau telah mendekati kesempurnaan.  Namanya juga santai, saya hanya memakai celana duapertiga, pendek tidak, panjang tidak.  Hanya setengah jengkal ujung celana melewati lutut.  Berkaos putih tipis cap soang.  Kaos yang sudah menyatu dengan diri secara utuh.  Artinya sudah sangat saya sayangi dan sering saya pakai.

Belum sepuluh menit saya duduk, datang serombongan anak muda yang hampir kesemuanya memanggul ransel kecil di punggung.  Terengah-engah mereka masuk ke area taman.  Lelah sekali mereka kelihatannya.  Bisa jadi cuaca panas yang membuat mereka demikian.  Satu orang langsung menghampiri saya.

"Es campur, Pak! Esnya yang banyak ya...hoi siapa yang mau?" katanya ke saya dilanjutkan dengan teriakannya menawari teman-temannya.

"Saya mau...saya mau...!" sambut teman-temannya.  Ah,masak saya dikira tukang es campur keliling.  Memang di jalan taman ada gerobak es campur, tidak tahu milik siapa.  Apa sih kira-kira ciri-ciri yang ada pada saya yang dilihat orang ini, sehingga bisa menyimpulkan saya adalah tukang es campur?  Bukankah pedagang keliling tidak selalu kumal, berkulit hitam, dan tampil apa adanya.  Ada kok yang tampil necis, ganteng pula.

"Maaf ya, Dik. Saya bukan tukang es campur", saya menjawab dengan sopan.  Tanpa minta maaf orang itu pergi dari hadapanku, celingak-celinguk mencari tukang es campur.  Tak lama kemudian mereka sudah asyik menikmati makanan segarnya.  Mereka duduk tak jauh dari tempat saya duduk.

Belum rampung mereka makan,datang Pak Lurah ke taman.  Hampir serentak para pemuda itu menghentikan keasyikannya bersiap menyambut Pak Lurah.  Tapi Pak Lurah berjalan lurus ke arah saya, menghampiri saya, menyalami saya, kemudian berbincang sebentar.  Setelahnya baru Pak Lurah mendekati para pemuda itu. Mereka tampak kaget melihat drama saya dengan Pak Lurah.  Mereka yang sedari mula tidak peduli, serta merta mereka mengangguk ke saya.  Saya membalasnya.

Drama berlanjut.  Tak lama berselang datang Pak Camat dan Pak Kapolsek.  Seperti Pak Lurah, dua bapak ini berikut para pengikutnya menghampiri saya, menyalami saya, dan berbincang sejenak.

Dari pembicaraan Pak Lurah, Pak Camat, Pak Kapolsek, dengan para pemuda itu saya menjadi tahu ternyata siang itu ada acara bakti sosial yang dipusatkan di taman dekat rumah.  Taman itu memang nyaman, bersih, dan rapi.  Sering dipakai untuk acara-acara termasuk dipakai untuk shooting sinetron.  Agak lama mereka merundingkan sesuatu, merencanakan sesuatu.

Kira-kira setengah jam dari waktu kedatangan Pak Camat, datang tergopoh-gopoh seorang ibu yang saya tahu seorang anggota DPRD.  Beliau ini begitu melihat saya juga menghampiri saya terlebih dahulu, apalagi memang posisi duduk saya lurus dengan pintu masuk lapangan.  Saya perhatikan para pemuda tambah terheran-heran melihat saya.  Mungkin menduga-duga siapa saya sebenarnya.  Saya biarkan situasi itu berjalan.  Ya bagaimana lagi, tidaklah mungkin saya ujug-ujug memperkenalkan diri saya tanpa ditanya terlebih dahulu.  Apalagi saya sama sekali tidak terlibat dalam acara mereka.

Cuaca tambah panas, angin semilirpun menghembuskan udara panas.  Saya bersiap untuk pulang.  Saya hampiri Pak Lurah, Pak Camat, Pak Kapolsek, dan Ibu Anggota Dewan untuk berpamitan.  Para pemuda itu pun ikut berebutan berjabat tangan dengan saya.  Begitu saya berjalan ke luar taman, ada dua orang diantara para pemuda itu mengikuti saya.

"Maaf lho, Pak. Tadi kami salah menilai Bapak, kami sudah berani lancang mengira Bapak seorang tukang es campur".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun