Mohon tunggu...
Arafid Lawida
Arafid Lawida Mohon Tunggu... -

"Aku takut dan begitu takut bahkan sangat takut untuk kehilangan ketakutanku..."

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

[BPJS Kesehatan] “Gratis Berobat” dengan BPJS Kesehatan dari Utopis ke Realitas

15 September 2016   12:55 Diperbarui: 19 September 2016   16:10 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanggal 5 September 2016, ketika sedang mengecek email mata saya langsung tertuju pada salah satu  email dari Pengelola Kompasiana dengan subjek “Undangan : Kompasiana Nangkring Bersama BPJS Kesehatan”. Langsung klik, dan sambil menunggu email yang lagi loading, dalam benak Saya bertanya-tanya apa benar Kompasiana mengadakan acara di Balikpapan? Maklum saja, seingat Saya ini acara pertama dan udangan pertama yang Saya terima dari Kompasiana sejak menjadi salah satu kompasianer dari sejak Maret 2009. 

Tema acaranya pun begitu menarik menurut Saya, "Kompasiana Nangkring - Gotong Royong demi Indonesia yang Lebih Sehat” selain karena selama ini Saya sering  mengikuti dan terlibat langsung berhubungan dengan BPJS khususnya BPJS Kesehatan, juga karena beberapa tahun terkahir kami dari kalangan Praktisi HRD dan pihak-pihak terkait lainnya seperti APINDO, Dinas Tenaga Kerja,  tak henti-hentinya mengkaji tentang pelaksanaan BPJS secara komprehensif.  Pembicaranya pun tidak tanggung-tanggung Bapak  Bayu Wahyudi yang saat ini menjabat sebagai Direktur Hukum, Komunikasi dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan. Kesempatan “emas” untuk bertanya secara langsung kepada salah satu top management dari BPJS.

Rencana  “nangkring” bersama BPJS yang akan diadakan Jumat, 09 September 2016 di salah satu hotel berbintang di Balikpapan dengan mengundang para Kompasianer sebagai peserta pastinya akan menjadi ajang yang mengasikkan. Bertemu Top Management BPJS serta teman-teman kompasianer adalah peristiwa langkah yang tidak boleh di lewatkan.  Setelah memberikan konfirmasi serta mendapat balasan  sebagai peserta terdaftar, rencana dan agenda pun saya siapkan meskipun harus memutar otak agar tidak berbenturan dengan rutinitas kantor.

…oo000oo…

Jumat pagi ini cuaca agak mendung, awan hitam berseliweran menutupi langit Kota Balikpapan. Pikirku, jika cuaca kurang bersahabat seperti ini Saya harus meninggalkan rumah lebih pagi harapannya agar semua agenda hari ini dapat terlaksana dengan baik. Ada tiga agenda yang Saya catat untuk pagi ini, pertama ke rumah sakit memeriksakan lutut yang sedang di rundung nyeri, kedua menghadiri acara nangkring Kompasiana BPJS – ini agenda prioritas yang dibubuhi label merah dan ketiga setelah dari acara nangkring baru melengkapi data untuk laporan tahunan ke salah satu instansi pemerintah di Kota Minyak – Kota Balikpapan.

 Benar saja, baru beberapa meter meninggalkan rumah hujan menyambut dan Saya harus mengejar jadwal praktek dokter agar dapat menghadiri nangkring bersama teman-teman kompasianer tepat waktu.  Jarak yang harus ditemuh pun lumayan jauh sekitar 23 KM dengan sepeda motor matik di tengah hujan. Karena harus berhenti beberapa kali berteduh dan memperbaiki mantel hujan, waktu untuk ke dokter sepertinya tidak akan terkejar jadi akhirnya di tengah perjalanan, urusan ketemu dokter saya tunda dulu dan saya putuskan untuk langsung ke acara nangkring.  Benar saja sesampainya di hotel tempat event akan dilaksanakan, acara nangkring sudah hampir di mulai dan tinggal beberapa kursi yang masih kosong di tengah peserta sudah tampak serius mempersiapkan diri mengikuti acara.

Kita patut bersyukur karena Negara kita suda memiliki SJSN dan badan pengelolanya yakni BPJS, karena tidak semua negara memiliki sistem proteksi seperti ini untuk warganya secara menyeluruh. Perlu di maklumi bahwa setelah melalui polemik yang panjang dan perdebatan yang melelahkan akhirnya tanggal 19 Oktober 2011 Ibu Megawati mengesahkan Undang-Undang  No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Nasional (SJSN). 

Hampir tujuh tahun berselang setelah Undang-Undang SJSN ini diundangkan, Pemerintah bersama DPR kembali mengodok dan mengeluarkan Undang-Undang tentang Badan yang menjadi penyelengara jaminan sosial ini melalui Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.  Kedua undang-undang ini merupakan pengejawantahan UU Dasar 1945 Pasal 34 ayat (1) Fakir miskin dan anak-anak terlantar di pelihara oleh Negara, ayat (2) Negara mengembangkan sistem dan jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masayarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan, ayat (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak, ayat (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini di atur dalam undang-undang.

Pasca berlakunya aturan ini, praktis untuk seluruh jaminan sosial di Indonesia yang sebelumnya di kelola beberapa istansi kini di take over serta dikelola oleh penyelenggara tunggal yakni Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dimana badan penyelenggara ini di bagi menjadi 2 yakni BPJS Kesehatan untuk menyelenggarakan jaminan pelayanan kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan untuk menyelenggarakan 4 jaminanan yakni Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP).

dokpri
dokpri
BPJS Kesehatan sendiri setelah dinyatakan resmi beroperasi tanggal 1 Januari 2014 dan  BPJS Kesehatan atas nama Negara kini menjadi penanggungjawab untuk memberikan pelayanan kesehatan terhadap seluruh rakyat Indonesia sepenuhnya dan seluruh rakyat Indonesia wajib mengikuti program ini. oleh karena itu, BPJS Kesehatan menargetkan bahwa tanggal 1 Januari 2019 seluruh warga Negara Indonesia telah terdaftar sebagai peserta dan dapat di layanai seluruh provider yang telah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Untuk mencapai target tersebut, BPJS Kesehatan sejak awal sebelum beroperasi gencar melakukan sosialisasi, edukasi-edukasi, serta menggandeng seluruh “stakeholder” yang ada.  Dari seluruh rangkaian program sosialisasi – edukasi  BPJS Kesehatan terkahir adalah acara #Nangkring Gotong Royong Demi Indonesia yang Lebih Sehat”.

Peserta dan Iuran BPJS

Siapa yang menjadi peserta BPJS? Yang wajib menjadi peserta adalah seluruh Warga Negara Indonesia, termasuk orang Asing yang  telah tinggal sekurang-kurang 6 (enam) bulan di Indonesia dan telah membayar iuran (UU No. 24 Tahun 2011 Pasal 1 ayat 4). Jadi bukan hanya WNI saja yang wajib ikut tetapi juga WNA yang telah memenuhi persyaratan (untuk lebih details dapat mengunjungi link Reff : http://www.bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/index.php/pages/detail/2014/11)

Saya akan sedikit berbagi pengalaman terkait wajibnya WNA menjadi peserta BPJS Kesehatan, ditempat Saya bekerja yang merupakan salah satu PMA dan mempekerjakan beberapa orang Tenaga Kerja Asing (TKA), waktu kami melakukan sosialisasi di internal perusahaan dengan berbekal materi dari serentetan mengikuti  sosialiasi BPJS Kesehatan, ada beberapa dari expatriat (TKA) dengan kritis menanyakan mengenai wajibnya kepesertaan ini. 

Ini agak berkesan sebagai sebuah testimony tetapi ini adalah kejadian yang Saya dan teman-teman team HR di perusahaan yang kami alami. Mereka bertanya kenapa dan untuk apa orang asing (expatriate) ikut program ini, sedang kami telah mendapat asuransi baik dari negara kami juga dari perusahaan?  Kami memberikan jawaban bahwa saat ini Negara Indonesia sedang mengembangkan sebuah sistem jaminan sosial yang akan memberikan proteksi terhadap seluruh warga Negara Indonesia termasuk warga Negara Asing yang sedang berada di Indonesia. Jika para TKA telah mendapat jaminan dari negaranya dan juga dari perusahaan,  tetap wajib ikut sebagai peserta BPJS Kesehatan jika telah tinggal 6 (enam) bulan atau lebih di Indonesia.

Salah satu expat kami yang berasal dari Barcelona Spanyol, sangat mendukung bahkan dengan penuh keseriusan mengisi form Pendaftaran Kepeserataan BPJS Kesehatan sambil sesekali beberpa kali bolak balik ke tempat saya menanyakan kolom- kolom yang harus di isi dan dilengkapi. *Ini masukan buat teman-teman di BPJS Kesehatan – colek Pak #BayuWahyudi-  jika bisa membaut form yang bilingual atau dalam beberapa versi bahasa. 

Atau dibuatkan manual book tentang tata cara pengisian dalam beberapa versi bahasa agar orang asing dapat megisi dengan baik dan lancar. Dan saya yakin mereka juga akan menyampaikan ke sesame expat dan ini akan membantu dan sangat efektif. Saya malah pernah memergoki para expat di tempat kami menggunakan translate online untuk memahami tata cara isian form BPJS Kesehatan.

Seorang dari senior nasional staf juga memberikan komentar, katanya dengan sedikit nada bertanya dan separuhnya komplain agak ketus “untuk apa para expat ini di daftarkan, toh mereka juga tidak akan menggunakan layanan yang BPJS Kesehatan, apakah mereka mau antri, gak level expat pake BPJS. Kita saja yang staf local jika melihat layanan BPJS tidak akan menggunakannya selain antrinya panjang layanan yang di cover perusahaan jauh lebih baik” sambil nyeletuk. Bayangkan coba sudah ketus, nyeletuk pula… ini serius menurutku waktu itu, selain yang bertanya adalah senior manager juga karena orang ini di setiap pertemuan paling banyak bersuara.

Sekadar info di perusahaan kami  dan hampir semua perusahaan PMA lainnya memang telah menyediakan jaminan kesehatan bagi karyawannya dengan bekerjasama dengan Asuransi,  Rumah Sakit atau Provider kesehatan secara langsung atau dengan menggunakan sistem Klaim (reimburse).  Jika karyawan kami ingin berobat tinggal datang ke rumah sakit rekanan dengan membawa surat jaminan maka mereka akan di layani langsung tanpa tedeng aling-aling dan mereka juga bisa memilih kelas pelayanan yang sangat baik jika di bandingkan dengan layanan yang diberikan BPJS Kesehatan. Oleh karenanya, kami harus menjawab pertanyaan ini dengan baik, logis dan harus jelas. 

 Teman HR Saya dengan logat bataknya berdiri dan  menjelaskan bahwa “apa yang kami sampaikan sama yang di sampaikan oleh petugas BPJS ketika  memberikan sosialisasi. Prinsipnya BPJS Kesehatan ini memang di rancang dan di-design untuk saling memberikan subsidi silang kepada warga yang kurang mampu. Jika saat ini karyawan dan para TKA ini mendapat jaminan lebih baik dari yang dapat di berikan BPJS Kesehatan, maka perusahaan tempat bekerja tetap wajib mendaftarkan dan membayarkan iuran. 

Kesanya ini sumbangan gratis karena membayar iuran tetapi manfaatnya tidak digunakan. Saat ini mungkin teman-teman telah menikmati layanan yang baik tidak antri dan di provider kelas internasional tetapi perlu di ingat ini wajib menurut undang-undang, di gunakan atau tidak perusahaan tetap wajib mendaptarkan karyawannya sebagai peserta, inilah prinsip gotong royong menjadi prinsip pertama dalam Undang-Undang No 24 Tahun 2011”.

Pada prinsipnya prinsip gotongroyong ini bukan hanya menjadi prinsip BPJS Kesehatan, namun juga menjadi prinsip dari semua sistem asuransi sosial di dunia. Sistem gotong royong dalam asuransi yakni secara bersama – sama menanggulangi resiko individu (pribadi) menjadi resiko kelompok (kolektif), dengan demikian transfer beban dan resiko secara kolektif akan terasa ringan. Dan inilah yang sedang di kembang BPJS Kesehatan untuk menjadi Badan Penyedia Jaminan Sosial yang handal.   

Prinsip gotong royong ini menjadi salah satu point penting yang di bahas dalam acara  yang diselenggarakan BPJS Kesehatan bersama Kompasiana di Balikpapan. Bertema “Gotong-royong Demi Indonesia Yang Lebih Sehat” pembicara Bapak Bayu Wahyudi yang di pandu salah satu kompasianer cerdas bapak Nurullah, memaparkan dan berulang-ulang menyampaikan tentang prinsip gotong royong yang di anut oleh BPJS Kesehatan.

Prinsip Gotong Royong dan Defisit Anggaran

Dalam acara Nangkring  BPJS Kesehatan dan Kompasiana yang bertema “Gotong Royong Demi Indonesia yang Lebih Sehat”  Bapak Bayu Wayudi juga menguraikan tentang persoalan pokok yang di hadapi BPJS Kesehatan saat ini yakni  defisit anggaran, “seluruh peserta harus saling membantu agar saudara-saudara kita bisa tetap terlayani dengan baik” imbuhnya.  “Untuk menanggulangi defisit anggaran yang terjadi saat ini, BPJS Kesehatan telah melakukan efisiensi semaksimal mungkin yang bisa dilakukan, juga meminta kepada Pemerintah agar turut membantu dengan mengalokasikan anggaran. Kan tidak mungkin kualitas pelayanan kita turunkan” tambahnya.

Alternatif lain yang mugkin tidak populis tetapi harus diambil untuk mengatasi persoalan anggaran adalah dengan menaikan tarif dan melalui Peraturan Presiden No. 19 Tahun 2016 yang di tandatangan Presiden RI Bapak Joko Widodo tanggal 29 Febaruari 2016 perubahan tariff telah di berlakukan sejak sejak 1 April 2016. Perubahan tariff ini cukup membantu defisit anggaran BPJS Kesehatan meskipun disisi lain menjadi polemik yang berkepanjangan di masyarakat. Tetapi perlu di catat, strategi perubahan tariff ini yang harus di ambil untuk tetap mempertahankan kesinambungan pelayanan yang prima dari BPJS Kesehatan.

Screening Data Peserta BPJS Kesehatan

Ada data yang sangat menarik untuk di cermati yang ditunjukan lewat slide saat acara nangkring berlangsung.  Data tersebut adalah data tentang total peserta JKN-KIS per 1 September 2016. Data dari slide itu menunjukan  jumlah total peserta dari masing-masing sektor dengan klasifikasi peserta peng-iur (pembayar iuran), seperti dibawah :

dokpri
dokpri
  • Penerima Bantuan Iuran (PBI) : 105.116.088  jiwa
  • Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) : 17.961.235 jiwa
  • Bukan Pekerja : 5.061.890
  • Pekerja Penerima Upah (PPU) PNS : 13.039.890 jiwa
  • Pekerja Penerima Upah (PPU) TNI : 1.550.824 jiwa
  • Pekerja Penerima Upah (PPU) POLRI : 1.210.256 jiwa
  • Pekerja Penerima Upah (PPU) BUMN : 1.247.091 jiwa
  • Pekerja Penerima Upah (PPU) BUMD : 153.203 jiwa
  • Pekerja Penerima Upah (PPU) Swasta : 22.995.734

Dengan total peserta JKN-KIS (Baca BPJS Kesehatan) saat ini adalah 168.512.237 jiwa. Jika melakukan analisa data secara serampangan maka jumlah peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) yakni peserta yang dibayarkan oleh Negara  karena digolongkan sebagai fakir miskin dan orang yang tidak mampu sebanyak 105.116.088 jiwa atau sekitar 62 % dari total peserta. Pertanyaanya adalah apakah peserta JKN-KIS yang di kelola BPJS Kesehatan lebih banyak orang miskin? Atau di bandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia tahun 2015 dari data BPS sebanyak 254 juta jiwa maka jumlah penduduk miskin adalah sekitar 41%. Tentu data ini perlu pengkajian yang lebih dalam dan lebih spesifik dan komprehensif.

seyogianya BPJS Kesehatan bekerjasama dengan pihak terkait harus melakukan screening data peserta secara berkala dan periodik. Klasifikasi mengenai fakir miskin dan orang tidak mampu serta perubahan status setiap peserta PBI harus ditinjau dari waktu ke waktu karena banyak data di lapangan menunjukan ketidaktepatan pemberian PBI ini. 

Perkiraan saya-Penulis, kemunkinan ini berawal dari peserta Jaminan Kesehatan Daerah (JAMKESDA) dimana Pemerintah Daerah menanggung warganya untuk berobat gratis tanpa  melihat status miskin atau tidak mampu tetapi melihat KTP. Sehingga data tertanggung ada yang seyogianya tidaklah tepat untuk di tanggung Negara melalui Pemerintah Daerah.

Bagaimanapun BPJS khususnya BPJS Kesehatan harus tetap kita dukung, karena BPJS adalah milik Indonesia, dan  milik kita berama…

www.facebook.com/Arafid.Lawida

twitter :  @Vhiedo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun