Mohon tunggu...
Arafid Lawida
Arafid Lawida Mohon Tunggu... -

"Aku takut dan begitu takut bahkan sangat takut untuk kehilangan ketakutanku..."

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Dari Tranplantasi Penis ke Hukuman Kebiri

27 Mei 2016   13:20 Diperbarui: 27 Mei 2016   19:21 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Photo: Sam Riley, AP)

Beberapa hari lalu tepatnya tanggal 23 Mei 2016, Dahlan Iskan punggawa dari Jawa Pos menulis artikel di salah satu media lokal Kaltim Post tentang transplantasi penis. Artikel yang di beri judul “Penis Baru Berharga 5 Milyar” menguraikan dengan sangat apik tentang serangkaian penelitian ilmiah dan percobaan para ahli kesehatan di berbagai negara dalam melakukan penggantian “burung”, yang akhirnya menemukan titik terang setelah Dr Curtis L Cetrulo yang memimpin sebuah tim berhasil melakukan transplantasi penis kepada Thomas Manning seorang bujangan 64 tahun yang kehilangan kelaki-lakiannya karena serangan kanker. Dahlan juga menggambarkan akan banyaknya harapan bagi para ksatria gagah perkasa korban perang Irak, Afganistan, dan di negara lain yang kehilangan kejantanan dengan berhasilnya proses bedah transplantasi penis yang dilakukan di Massachusetts General Hospital, Boston.

(Photo: Sam Riley, AP)
(Photo: Sam Riley, AP)
Tidak lama berselang, meski sangat kontras dari artikel Dahlan, Presiden Jokowi dengan dikawal Menkumham mengumumkan secara resmi Perppu No 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Dikeluarkannya Perppu ini untuk memperberat hukuman bagi para pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Tak tanggung-tanggung dalam Perppu tersebut diatur dengan sangat jelas, terang-benderang hukuman bagi para pelaku pemerkosa anak di bawah umur. Hukumannya selain, identitas pelaku dapat diumumkan di depan publik, dipasangi pendeteksi elektronik juga akan diberikan hukuman kebiri dengan cara kimia. Di belahan dunia sana sebagian orang bergembira karena mendapatkan harapan untuk menghidupkan kembali “burung” yang sudah mati, di mari malah menetapkan aturan mematikan “burung” yang masih hidup. Kontras kan!

Saya hanya tersenyum dan tertawa-tawa geli membayangkan bagaimana jika seorang pelaku pemerkosa yang dipasangi pendeteksi elektronik berjalan-jalan, kemudian alarmnya berbunyi dan kebetulan lagi berada di daerah “Ablam” salah satu daerah yang cukup mengerikan dengan “preman” di Makassar. Saya membayangkan para lelaki berbadan besar bertatto, berambut gondrong keluar dari gang-gang sempit “Ablam” sambil menatap si pemakai pendeteksi elektronik tersebut tak ubahnya mangsa. Sudah pasti “bonyok”. Wallahu alam, orang lewat saja bisa kena busur, apalagi pemakai pendeteksi elektronik.

Saya juga membayangkan lucunya, bagaimana hasilnya jika seorang yang dikebiri dengan kimia. Simbol kejantanan yang sedia setiap saat berdiri kokoh, kuat dan tahan lama sebagaimana yang dislogankan salah satu pabrik semen akan menciut seperti cabe keriting layu, keriput, lancip yang kerjanya cuma menggantung menjaga telurnya. Waspadalah!

Di sisi lain saya, dan mungkin juga saudara-saudara sekalian masih merasakan sedih yang begitu mendalam atas peristiwa yang menimpa Yuyun, gadis kecil lugu yang baru berusia 14 tahun yang tinggal di Desa Kasie Kasubun, Kecamatan Padang Ulak Tanding, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu. Yuyun, anak perempuan yang masih sangat kecil diperkosa beramai-ramai tanggal 2 April 2016 oleh 14 orang secara bergantian kemudian membunuhnya dan membuangnya begitu saja ke jurang. Biadab, keji, tak berperikemanusiaan.

Belum tuntas kasus Yuyun, kasus pemerkosaan disertai pembunuhan yang tak kalah mengerikan kembali terjadi. Hanya berselang satu bulanan, kejadian biadab kembali menimpa Enno karyawan swasta diperkosa kemudian dibunuh, lalu dimasukkan gagang cangkul ke dalam alat vitalnya. Para dokter dan perawat yang terlibat dalam proses autopsi jasad Enno tak sanggup menahan air mata seperti turut merasakan kesakitan luar biasa yang dirasakan Enno. Gagang cangkul yang besarnya kurang lebih pergelangan tangan dan panjang hampir satu meter ditusukan dari alat vital Enno sampai ke organ dalamnya.

Kejadian biadab seperti yang dialami Yuyun dan Enno memang terus terjadi, terus berulang tanpa satu pun yang dapat menghalangi. Negara pun dibuat tak berdaya. Pemerintah hanya sigap mengeluarkan aturan namun sangat loyo dalam penerapannya. Para Anggota Dewan sibuk berdebat. Para pakar hanya ahli dalam berpolemik. Para pengamat hanya sibuk berkomentar dan rakyat kebanyakan hanya diam tak berbuat apa-apa. Sedang para penulis sibuk berkontemplasi dan menjadikan isu sensi seperti ini sebagai bahan dan objek tulisan. Yah, mereka semua sibuk. Mereka semua mungkin, termasuk penulis pasti berargumen bahwa mereka telah berbuat serta memainkan peranannya sesuai tugas fungsi, konteks, kemampuan. Semua kemudian reda, dan hilang begitu saja seiring waktu berlalu.

Nantinya hanya para algojo akan sibuk melakukan kebiri kepada pelaku kekerasan seksual anak, dan Dr Curtis L Cetrulo akan kebanjiran order transplantasi penis… masalah memang tidak pernah berhenti.

Yang ingin saya pesankan sebenarnya adalah hukuman seberat apa pun tak akan pernah menyelesaikan dan menghentikan kasus kejahatan dan kekerasan termasuk kekerasan terhadap anak. Dengan mengebiri atau menghukum mati pun pemerkosa Yuyun dan Enno dan jutaan anak-anak Indonesia tidak akan pernah menghentikan kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia. Terbukti di beberapa negara yang yang menerapkan hukuman kebiri seperti Amerika, Rusia, Korea Selatan, Argentina bahkan negara tetangga kita Australia tidak mengurangi jumlah pelaku kekerasan seksual termasuk terhadap anak-anak.

Harus digarisbawahi bahwa “Hukum tidak akan pernah mematikan atau menghilangkan kejahatan apa pun”. Namun, orang tua Yuyun, Enno, dan seluruh orang tua yang mengalami hal sama akan merasakan keadilan dan ketenangan batin jika hukuman yang diberikan kepada mereka para pelaku sama atau dianggap setimpal dengan yang anak mereka alami. Itulah keadilan hukum. Hukum hanya mampu memberikan tiga hal, yakni kepastian hukum, keadilan hukum (saya menegaskan dengan -keadilan hukum- karena memang berbeda dengan keadilan yang sebenarnya), dan kemanfaatan hukum. Selain 3 hal di atas, jangan mengharapkan hal lain lagi. Ingat sekali, bahwa hukum tidak akan pernah mematikan dan menghilangkan kejahatan meskipun para pelaku dihukum mati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun