Mohon tunggu...
Mursyidah Amiriyah Al Achsanah
Mursyidah Amiriyah Al Achsanah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Studi Agama-agama UIN Sunan Ampel Surabaya

Hobi mengamati dunia sekitar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Apa Kabar Aparat Negara?

11 Agustus 2024   09:09 Diperbarui: 11 Agustus 2024   09:12 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Apa Kabar Aparat Negara?

Salah satu gadis yang tidak peduli terhadap kinerja aparat negara adalah aku. Asya, jika aku dipanggil. Ya memangnya mau bagaimana? Dengan hidup bebas tanpa adanya tekanan itu menurutku sudah lebih dari cukup. Untuk apa harus memperdulikan perpolitikan jika kita sudah merasa tentram? Begitu alasan singkatnya. Tapi suatu ketika aku diberikan new experience oleh Tuhan. In my opinion, ada berbagai pelajaran yang bisa dipetik. Mungkin kalian bisa memberi kesimpulan yang berbeda-beda soal ini.

...

Awan gelap menyelimuti langit sore, membawa titik-titik air yang kemudian mendarat ke bumi. Aku segera mempersiapkan diri untuk latihan beladiri di kampus. Walaupun awalnya aku agak ragu karena cuaca, aku tetap pergi sehabis hujan reda. Aku berpamitan kepada orang tuaku.

"Asya berangkat dulu, nggeh," ucapku sambil mencium tangan Bapakku.

"Iya. Hati-hati. Habis hujan ini." Bapak menimpali. Hal yang biasanya terjadi, namun kali ini aku berangkat latihan dari rumah. Hal tersebut disebabkan jadwal mata kuliah dilaksanakan full online hari ini. Sebenarnya, Bapak sangat tidak setuju aku berkegiatan malam. Tapi aku selalu beralasan "kepentingan kampus", yang akhirnya aku diperbolehkan. Asal jangan pulang malam, katanya. Yah, gimana nggak pulang malam? Jadwal kegiatan seringkali dialokasikan di malam hari. Alhasil, walapun diizinkan aku tetap dimarahi karena tetap pulang malam.

Aku mengendarai sepeda motor beat kesayanganku menuju kampus. Aku sangat menyayanginya, layaknya kekasihku. Ke manapun aku ingin pergi, dialah yang menemani. Tiba-tiba hujan kembali turun. Aku berteduh di depan pertokoan kota. "Apa aku balik aja ya?" gumamku. Namun aku sudah berjanji pada diriku sendiri akan lebih rajin latihan. Mengingat janjiku itu, akupun mengambil jas hujan, memakainya, dan melanjutkan perjalananku. Akan tetapi, beberapa menit kemudian hujan berhenti begitu saja. It's okay no problem. Namun, karena malas melepas jas hujan, aku berkendara sampai kampus dengan jas hujan masih melapisi pakaianku.

Beberapa jam kemudian, latihan selesai. Aku pulang melewati rute yang biasanya kulewati. Aku teringat kapas di rumah habis. Maka dari itu aku sengaja melewati rumahku dan menambah rute beberapa meter untuk ke minimarket. Aku memarkir sepedaku. Hendak aku mengunci setir, tapi setir tiba-tiba sulit digerakkan ke kiri. Keadaan fisikku yang lelah dan pikiran sibuk membayangkan omelan bapak membuatku semakin badmood. Akhirnya aku tinggalkan sepeda motor dalam keadaan tak dikunci setir. Langsung saja aku cabut kunci motor dan masuk ke minimarket.

Tak sampai 10 menit, aku selesai bertransaksi dan menuju tempat motorku diparkir. Aku memasukkan kembalian receh ke kotak amal di sebelah pintu minimarket. Sambil melihat tempat parkir. Aku memfokuskan mataku, mengucek beberapa kali, dan yang kulihat motorku sudah tak ditempatnya. Tanpa sisa. Sampai aku datangi tempat di mana motorku diparkir. Raib. Aku segera menuju kasir, mengatakan hilangnya sepeda motorku.

3 karyawan minimarket membuka monitor CCTV. "Ini videonya kepotong, mbak" ujar salah satu karyawan. Jelas aku mengernyitkan dahi. Ingin aku kata-katai mereka. Tapi pikiranku sudah sibuk menggambarkan bagaimana emosi amarah bapak ketika mengetahui ini terjadi. Salah satu dari mereka inisiatif bertanya kepada penjual di sekitar minimarket. Namun nihil hasilnya. Dia malah menyuruhku pulang, dengan kata-kata penenang "masih mending motor yang hilang, kalau nyawa?". Ah, aku mending mati daripada dicap durhaka Bapak sendiri, akibat hilangnya motor itu.

Kebetulan memang minimarket tidak jauh dari rumahku, sehingga aku pulang dengan jalan kaki. Pikiranku berputar memikirkan apa yang hendak kukatakan ketika ditanya Bapak. Sesampainya di rumah, Aku masuk secara diam-diam. Di kamar, aku sibuk menghubungi teman-temanku. Aku juga mengupload story kehilangan motor di akun media sosialku. Air mata ketakutan terus mengalir dari kedua mataku. Beberapa jam kemudian, aku ingin ke kamar mandi. Tapi naas, saat membuka pintu, aku sudah berhadapan dengan Bapakku.

"Sepedanya mana? Mogok?" tanya bapakku dengan mata sayup kantuk. Tentu aku bingung hendak menjawab apa dan bagaimana. Namun demi kejelasan dan menghindari kesalahpahaman, aku langsung saja menjawab.

"Hilang.".

Sedetik hening kemudian, disusul pertanyaan-pertanyaan Bapak mencoba meyakinkan dirinya. Seperti apa yang kuperkirakan, beliau marah besar. Kemudian melarangku ikut beladiri lagi. Tak hanya itu, apapun kegiatan yang pulangnya malam sudah tak diperbolehkan lagi aku oleh beliau.

Hilang. Tak hanya motor yang hilang, tapi beberapa harapan dan rencana ke depanku untuk berkembang lewat beladiri dan beberapa kegiatan lain, mau tak mau musnah sudah. Aku tak bisa tidur, kembali menangis sejadi-jadinya di balik bantal.

Esoknya, aku dan bapak menuju kantor polisi di daerah rumahku, melaporkan kehilangan sepeda motor. Tak hanya melapor dan mendeskripsikan kronologi, kami bersama seorang anggota polisi juga mengunjungi Tempat Kejadian Perkara (TKP). Aku mengatakan bahwa kemarin sudah menanyakan tentang video CCTV yang 'katanya' terpotong. Bersama anggota polisi tersebut, aku merekam monitor minimarket yang menjalankan video CCTV kemarin malam. Dan memang benar, dari adegan aku masuk minimarket sampai keluar dengan kebingungan, tiada nampak sama sekali di video tersebut. Jelas ini suatu kejanggalan yang harusnya dipertanyakan. Tapi pak polisi malah mengatakan "iya memang biasanya begitu. Kalau mau lihat full videonya ada di pusatnya sana ya, mbak?" diiringi anggukan pegawai minimarket dan menyebutkan salah satu nama kabupaten. Seakan polisi sudah tahu, namun sudah melumrahkan hal ini terjadi. Herannya aku, tak ada greget untuk mencari kebenaran video atau bagaimana. Jelas aku skeptis.

Bapak menraktir pak polisi di warung pojok. Sambil bercengkrama dan meng-akrab, mereka menikmati nasi rawon itu. Aku? Masih mencerna kejadian dan tanggapan polisi yang demikian. Aku juga malas sekali, Bapak terlalu baik kepada polisi itu. Entahlah apa karena ke-skeptisanku ini terhadap polisi itu, atau merasa semakin berjarak dengan bapak.

Hari-hari setelahnya aku berkegiatan tanpa motor. Liburan semester yang membosankan. Padahal, aku sudah merencanakan berkunjung ke berbagai tempat wisata. Tapi aku senang mengenal transportasi umum dan menjalani keseharian dengan baik-baik saja. Aku tak keberatan walaupun masih belum move on dari kejadian itu.

Sebulan setelah hilangnya motor, di awal malam, rumahku kedatangan 3 orang anggota kepolisisan sektor di daerah kabupaten sebelah kabupaten tempat aku tinggal. Mereka menanyakan apakah benar aku kehilangan motor dengan nopol X 2322 YY. Aku membenarkannya dan menunjukkan surat laporan kehilangan kepada mereka. Mereka pun kembali dan meminta file pdf surat laporan.

Seminggu kemudian, salah satu dari ketiga polisi yang datang ke rumah mengabarkan lewat chat whatsapp messenger bahwa pencuri motorku sudah tertangkap oleh pihak kepolisian resor kabupaten. Aku sendiri berkesimpulan, ketiga polisi tersebut sudah lepas tangan dalam perkara ini. Bapak berinisiatif untuk menghampiri polres dengan mengajak anggota polisi dari kepolisian sektor daerahku. Di sana, kami mendapatkan informasi bahwa kami tinggal menunggu sidang yang kira-kira dilaksanakan 2 bulan.

 2 bulan berlalu, masih belum ada kabar sama sekali. Sampai pada 4 bulan kami pun tak menemukan tanda akan dilaksanakannya sidang. Bapak bertanya kepada kerabat yang menjadi mantan kapolres. Karena sudah lama pensiun, beliau tidak tahu menahu. Namun sarannya yang kami dapatkan adalah menanyakan pelaksanaan sidang kepada kejaksaan kabupaten di tempat tertangkapnya pencuri.

Bapak pergi menuju kantor kejaksaan kabupaten 2 kali tanpa aku karena kepentingan studi. Pertama, Bapak tidak bertemu dengan jaksa karena alasan cuti. Bapak datang lagi di bulan selanjutnya dan menurut keterangan Bapak, Bapak disambut baik oleh mereka (orang-orang di kejaksaan). Mereka meminta fotokopi berkas-berkas laporan dan nomor telepon Bapak. Mereka juga menjanjikan akan segera mengabari perihal sidang. Namun, 1-2 bulan berlalu, belum ada kabar sama sekali. Akhirnya aku dan Bapak datang ke kejaksaan kabupaten.

Perasaanku lumayan senang karena niat Bapak menuju ke sana dibarengi dengan niatan bon pinjam alias mengambil sepeda motorku dan akan dibawa kembali ketika sidang sebagai barang bukti. Aku menenteng helm menuju bus yang melaju ke kantor kejaksaan. Bayangan dalam benak menggambarkan aku dan bapak bisa pulang mengendarai sepeda motor itu. Ah, senangnya. Aku sangat merindukannya.

Sesampainya kami di sana, kami menemui jaksa yang mengurusi permasalahan pencurian motorku. "Loh, sebentar. Yang mana ya pak..." jaksa itu mengingat-ingat, entah benar lupa atau pura-pura. "Oh yang ini..." sambil menunjuk berkas yang ada di depannya, di atas mejanya. "Sepeda itu sudah dinyatakan bodong, pak".

Bapak dan anak serentak mengernyitkan dahi. "loh, saya sudah anda minta memberikan nomor telepon dan fotokopian berkas-berkas itu, apa gunanya? Apa tidak bisa direvisi, pak?" tanya bapak mengintimidasi.

"Mohon maaf bapak, sidang sudah selesai barusan kemarin. Dalam sidang tersebut sudah diputuskan motor ini dirampas untuk negara karena digunakan sebagai alat kejahatan oleh si pencuri. Untuk revisi, tentu tidak dimungkinkan, pak. Ibarat dalam perjalanan, kami sudah sampai finish. Tidak mungkin balik kanan lagi." jelas jaksa.

Mafhum. Namun skeptis masih merajai pikiranku. Mengapa bisa begitu saja terjadi? Langsung diputuskan sebagai motor bodong tanpa adanya kroscek lebih dalam. Perkara ini juga belum lama terjadi, belum sampai setahun. Jaksa beralasan plat nomor motor dalam laporanku tidak sesuai dengan yang disidangkan.

Jadi kronologinya, setelah maling mencuri motorku, motorku dijual kepada orang yang biasa menyewakan motor. Setelah dijual (dengan harga sekitar 2,5 juta rupiah oleh maling), motor tersebut digunakan untuk mencuri sepeda motor lagi (harga sewa 50 ribu rupiah per hari). Dari penyewaan itu, si maling berhasil mencuri 5 sepeda motor. Singkatnya, setelah motorku dicuri, motorku digunakan untuk aksi kejahatan, yang membuat motor gelap identitas. Plat nomor tentu saja dipalsukan olehnya. Bahkan di keterangan salah satu polisi, pencuri banyak yang memiliki cadangan plat nomor yang tak hanya satu.

Bapak yang sarjana hukum dan pensiunan bagian mengurus kendaraan perusahaan beradu argument dengan jaksa. Sangat memakan waktu lama. Jawaban jaksa tetap tak bisa dinegoisasi. "Mohon maaf, pak. Saya tidak mau diajari maupun didekte. Saya sudah bekerja sesuai prosedur. Jika Bapak berkenan, bapak bisa ikut lelang.".

"Wah, lucu dong. Saya membeli sepeda motor saya sendiri." sahut Bapak. "Memang kapan ada jadwal lelangnya?".

"Nanti insya Allah saya kabari, Pak."

"Kalau lihat motornya sekarang apa boleh?" tanya Bapak. Jaksa tidak mengizinkan untuk itu. Kami pulang dengan hampa, nihil, tak berhasil.

Sampai rumah, kami diinterogasi teman-teman ibu yang sedang berkumpul di sana. Mereka tentu ikut marah mendengar kejadian kami barusan. Apalagi setelah tahu bahwa BPKB dan STNK motorku juga dibawa anggota polsek di daerahku. Mereka semakin yakin, ini akal-akalan yang dilakukan oleh sekelompok orang, yang kemudian menjual sepedaku beserta BPKB dan STNK-nya. 

Singkat cerita, kami berhasil mengembalikan STNK dan BPKB ke tangan kami. Kami dibantu oleh kenalan dari salah satu murid ibuku. Yang ternyata beliau masih ada hubungan saudara dengan kami. Beliau adalah anggota di kepolisian resort di kabupaten tempatku tinggal. Dengan mudah kami mengambil kembali STNK dan BPKB yang dibawa kepolisian sektor untuk diajukan ke kejaksaan sebagai barang bukti. 

Menurut arahan anggota kepolisian tersebut, kami disarankan ke kejaksaan dengan membawa barang bukti BPKB dan STNK. Namun karena kekecewaan bapak atas peristiwa terakhir di kejaksaan, Bapak tak segera ke sana. Bapak mengajakku berkunjung ke temannya yang pensiunan jaksa. Tapi jelas saja arahannya sama, karena mereka lebih paham lapangan. Ternyata bapak memilih idenya sendiri, menemui kejaksaan tinggi untuk diminta mendampingi ke kejaksaan daerah.

Di kejaksaan tinggi, kami datang sebagai tamu konsultasi hukum. Setelah berkonsultasi, kami ternyata juga mendapat saran yang sama dengan 2 orang sebelumnya. Saran untuk mendatangi kejaksaan daerah secara pribadi. Kejaksaan tinggi tak berkenan mendampingi karena tak punya wewenang atas perkara tersebut. Sejak kunjungan ke rumah teman bapak, sebenarnya aku bingung sendiri. Sebagai anak yang bukan mahasiswa hukum, aku tak tahu bahwa ternyata sidang perkara dilakukan secara bertahap. Ketika jaksa mengatakan sudah diputuskan motorku jadi motor bodong, aku berpikir bahwa sidang perkara hanya dilakukan sekali. Tapi sebenarnya aku juga bingung, sidang itu memang masih proses atau sudah diputuskan.

Pihak konsultan hukum kejaksaan tinggi menyarankan untuk bertanya kembali ke kejaksaan daerah. Apakah persidangan masih proses atau sudah diputuskan. Kalau masih proses, masih ada kemunginan untuk bisa merevisi berkas-berkasnya. Namun kalau sudah diputuskan hakim menjadi motor yang dirampas untuk negara, maka jika ingin motor itu kembali, mau tak mau ikut pelelangan.

"Kalau ikut pelelangan kira-kira dapat murah nggak, pak" tanya bapak pada konsultan.

"Tentu saja, pak. Motor itu dijual tanpa surat-surat," jawab konsultan.

"Ya lucu juga, kalau barang saya saya beli sendiri," ucap bapak sambil tersenyum kecut.

"Kalau ada yang punya surat lengkapnya lebih diprioritaskan kok, pak. Banyak juga kejadian yang sama seperti yang dialami jenengan."

Wait. Prioritas? Banyak? Jadi, apakah ini adalah proyek kesengajaan yang dibuat resmi oleh aparat negara, sehingga banyak terjadi dan pemilik asli (dengan memiliki surat lengkap) dibuat secara terpaksa membeli barangnya sendiri?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun