"More than 2 million Indonesians gathered in capital Jakarta on Sunday to mark the second anniversary of the "212 movement" by holding a peaceful anti-government rally. The protesters read verses from the holy Quran and sang songs against incumbent President Joko Widodo." (Anadulu Agency, 01-12-2018)
Begitulah pertanyataan yang tertulis dalam pembukaan berita salah satu media cetak ternama di Turky, Anadolu Agency (AA), pada Ahad, 02 Desember 2018 lalu. Artikel berita dengan tagline "Indonesia: Millions gather for anti-government rally" itu menggambarkan tentang berkumpulnya jutaan massa yang memenuhi halaman Monumen Nasional, Jakarta, yang kita kenal dengan sebutan "Reuni Akbar 212".
Iya, reuni tersebut merupakan sebuah acara yang diadakan oleh Presidium Alumni 212 untuk mengenang 2 tahun aksi 212 (02 Desember 2016), sebuah aksi yang menuntut keadilan terhadap Basuki Tjahaja Purnama, Gubernur DKI Jakarta kala itu, atas ucapannya yang menghina Kitab Suci ummat Islam pada kunjungannya di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, 27 September 2016. Berikut kutipannya:
"Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa saja dalam hati kecil Bapak-Ibu nggak bisa pilih saya ya kan? Dibohongi pakai Surat Al-Maidah 51, macam-macam itu. Itu hak Bapak-Ibu ya. Jadi kalau Bapak-Ibu perasaan nggak bisa kepilih nih, karena saya takut masuk neraka karena dibodohin gitu ya, nggak apa-apa,"
Kata "dibohongi" dan "dibodohi" pakai "Surat al-Maidah Ayat 51" yang disampaikan oleh Gubernur non muslim yang akrab disapa Ahok kala itu sontak menuai respon yang begitu luar biasa dari ummat Islam Indonesia. Bagaimana tidak, ia jelas telah merendahkan salah satu ayat al-Qur'an, Kitab Suci yang menjadi pedoman hidup bagi ummat Islam di seantero jagad.Â
Singkat cerita, hal itu kemudian menuai aksi dari ummat Islam yang turun memadati pelataran monas, Jakarta, menuntut pemerintah pusat untuk segera mengadili sang Gubernur tersebut. Tidak tanggung-tanggung, gerakan yang kemudian dinamai dengan aksi 02 Desember (2-12) itu dipadati oleh jutaan ummat Islam yang datang dari seluruh penjuru negeri dengan berbagai cara, dari nyarter pesawat hingga berjalan kaki puluhan kilometer, untuk sampai ke pelataran di pusat ibu kota, menyuarakan keadilan agar ditegakkan tanpa tebang pilih.Â
Alhasil, Selasa, 9 Mei 2017, di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, setelah menempuh 19 persidangan yang menegangkan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang diketuai Dwiarso Budi Santiarto, Menyatakan terdakwa (Ahok) terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pidana penodaan agama. Pidana penjara 2 tahun, meminta terdakwa ditahan. Membebankan terdakwa biaya perkara 5.000 rupiah.
Menariknya, pasca perjalanan panjang nan melelahkan yang meliputi kasus tersebut, dari hari pertama "masuk sekolah" ( aksi pertama 4 November 2016 atau yang dikenal dengan aksi 411) hingga "reuni" berkali-kali (2-12-2017 dan 2-12-2018), serentak di berbagai media, hal tersebut (sebut : aksi), menuai perdebatan dari berbagai kalangan, dari pangkalan mamang ojol hingga ke gedung Istana. Bahannya pun beragam, mulai dari "hitung-hitung" jumlah peserta aksi sampai masalah "perbutan elektabilitas".Â
Tagline-tagline di berbagai media ramai terpampang "7 juta atau 50.000", "Pendukung Capres X", "MAKAR", "Aksi Yang Brutal", "Revolusi", "menggulingkan Pemerintah", dan beragam tagline lainnya. Tak cukup sampai disitu, berkumpulnya jutaan manusia yang menyuarakan keadilan di negeri demokrasi ini justru sepi dari pemberitaan. Padahal, aksi tersebut tidak lebih dari sekedar respon ummat terhadap ketidak-adil-an yang mereka rasakan di negeri ini. Dari title radikal hingga teroris, telah melekat pada mereka meski rumput tak berani mereka sakiti, apalagi nyawa.
Salah seorang aktivis, dalam sebuah acara talk show di salah satu stasiun TV Swasta yang bertajuk "Reuni 212, Menakar Elektabilitas Capres 2019" (4/12/2018), berkomentar :
 "Kalau seandainya saat kejadian itu (aksi 212), statsiun TV ini, genset-nya mati, listriknya korslet, maka gak ada yang beritakan peristiwa sejarah ini. Jadi, kalau Pers Nasional tidak memberitakan itu, itu artinya pers memalsukan sejarah. Karna orang gak akan pernah tau bahwa ada satu peristiwa, dengan kumpulan orang sebanyak itu, dengan ketertiban, dengan kepemimpinan intelektual, tapi tidak dimuat oleh pers. Bukankah itu disebut penggelapan sejarah oleh pers Indonesia. Karna itu saya kalau lihat berita-berita itu, akhirnya pers kita itu sekedar jadi "Humas Pemerintah", baca pers mainstream itu kaya baca brosur pemerintah".
Dari pelataran Monas kita ke gedung PBB. Baru-baru ini dunia berita kembali dikejutkan dengan kabar pemecatan salah seorang kontributor Stasiun TV ternama di Amerika Serika, CNN. Adalah Prof. Dr. Marc Lamont Hill, beliau adalah seorang Host di BET News dan sekaligus kontributor politik untuk CNN. Dr. Hill telah menerima banyak penghargaan bergengsi dari National Association of Black Journalists, GLAAD, dan International Academy of Digital Arts and Sciences.Â
Dr. Hill is the Steve Charles Professor of Media, Cities, and Solutions at Temple University. Prior to that, he held positions at Columbia University and Morehouse College. Since his days as a youth in Philadelphia, Dr. Hill has been a social justice activist and organizer. He is a founding board member of My5th, a non-profit organization devoted to educating youth about their legal rights and responsibilities. He is also a board member and organizer of the Philadelphia Student Union. Dr. Hill also works closely with the ACLU Drug Reform Project, focusing on drug informant policy. Over the past few years, he has actively worked on campaigns to end the death penalty and to release numerous political prisoners. Begitulah biografi singkat yang penulis kutip dari laman resmi www.marclamonthill.com.
Prestasi yang gemilang tidak membuatnya bertahan lama di stasiun TV ternama Amerika Serikat tersebut. Setelah menyampaikan pidatonya pada Hari Solidaritas Internasional Untuk Palestina, 29 November lalu di Markas Besar PBB, kabar pemecatannya di stasiun TV tersebut langsung berhembus di telinga publik. Iya, hanya butuh waktu kurang lebih 24 jam setelah ia menyampaikan pidatonya. Dr. Hill dinilai anti semitism karena pernyataannya yang mengecam kekejian yang dilakukan oleh Israel terhadap warga Palestina. Berikut kutipan pidatonya :
"Malapetaka besar yang terjadi pada Mei 1948 telah menyebabkan terjadinya pengusiran, pembunuhan, dan saat ini pemindahan secara permanen lebih dari 1 juta penduduk Palestina. Setiap menit masyarakat global menggaung-gaungkan kerangka yang jelas dan terang-benderang untuk Hak Asasi Manusia. Namun disisi lain penduduk Palestina telah dicabut Hak Asasi mereka yang paling mendasar. Di saat Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa semua manusia terlahir merdeka dan setara hak dan martabatnya, negara Israel tanpa henti terus membatasi kebebasan dan menghapus persamaan hal warga Palestina yang ada di israel, juga yang ada di Tepi Barat dan Gaza. Hingga saat ini ada lebih dari 60 Undang-Undang Israel yang melarang penduduk Palestina untuk mengakses hak penuh sebagai warga negara hanya karena mereka bukan orang yahudi. Kita mempunyai kesempatan untuk bukan hanya sekedar menawarkan solidaritas dalam bentuk kata-kata, namun juga melakukan tindakan-tindakan politis, tindakan-tindakan dari masyarakat, lokal dan internasional, agar memberi kepada kita keadilan yang diinginkan, dan itu adalah Palestina yang merdeka dari sungainya hingga lautnya." (Terjemah dari : Cordova Media)
Pasca pidatonya tersebut, CNN pun berkomentar, "Marc Lamont Hill is no longer under contract with CNN,". Dikutip dari www.washingtonexaminer.com, Dr. Hill dideskripsikan sebagai anti semitism, "Hill, who has a long history of anti-Semitism, made the remarks at a U.N. event commemorating the International Day of Solidarity with the Palestinian People. He said the international community should boycott Israel and allow Palestinians more space to engage in violence against the Jewish state, arguing that violence was also employed in the struggles of African Americans."
Baiklah, pertanyaannya kemudian adalah kemanakah perginya media? Atau lebih tepatnya, ada apa dengan media ?
Mari kita sapa "Penggagas" The Clash of Civilization
Clash of Civilization: And The Remaking of The World Order, adalah sebuah buku (dari tesis) yang ditulis oleh Samuel Phillips Huntington, seorang ilmuwan sekaligus penasehat politik Amerika Serikat. Dia menghabiskan hampir setengah hidupnya di Harvard University sebagai director of Harvard's Center for International Affairs and the Albert J. Weatherhead III University Professor.Â
Clash of Civilization adalah judul yang ia berikan untuk menamai konflik global yang melanda dunia saat ini. Ia menyatakan bahwa konflik paska Perang Dingin bukan lagi ideologis, politik atau ekonomi, tapi kultural temasuk bahasa, sejarah, nilai, adat istiadat, dan yang paling penting adalah "agama" (Huntington : 1996, 21).Â
Ketika menyatakan hal tersebut, Huntington sebenarnya berbicara tentang ancaman terhadap Kapitalisme Barat (Lihat, Huntington : 1993, 22-48). Baginya, Islam dan Barat adalah dua kekuatan yang saling berhadapan dan yang satu menjadi ancaman bagi yang lain. Tragedi 11 September 2001 yang menyulut pecahnya Perang Afganistan dan Perang Irak disebut-sebut sebagai puncak keakuratan prediksi Huntington.
"Of seven or eight major civilizations, he claims, especially Islamic and Western civilizations have more likely to be clashed because Islam is the only civilization that aspires universalist values and poses a significant challenge to the West. On the other hand, Huntington talks about an Islamic-Confucian connection against the Western civilization. In doing so, he recommends that the West should limit expansion of Islamic-Confucian states' military and economic power and the West should exploit differences between the two civilizations"
Hal tersebut dibenarkan oleh penulis buku "The End of History", Francis Fukuyama. Di dalam bukunya itu, Fukuyama menyatakan bahwa dalam politik, Islam pernah menjadi tantangan bagi demokrasi liberal dan praktek-praktek liberal. Ia mengaskan:
"Tidak diragukan lagi, dunia Islam dalam jangka panjang akan nampak lebih lemah menghadapai ide-ide liberal ketimbang sebaliknya, sebab selama seabad setengah yang lalu liberalisme telah memukau banyak pengikut Islam yang kuat. Salah satu sebab munculnya fundamentalisme adalah kuatnya ancaman nilai-nilai liberal dan Barat terhadap masyarakat Islam tradisional." (Francis Fukuyama : 1992, 45-46)
So, ada apa dengan media?
Media menjadi pihak yang paling memiliki kuasa dalam era clash of civilization. Peranannya mampu mengarahkan opini dan persepsi publik. Dalam kasus yang menyangkut "Terorisme", jika pelakunya Muslim dan berciri-ciri Muslim, maka gorengan berita semakin gurih dan renyah. Tak ada kata garing. Peristiwa WTC 9/11, bom di Paris, London, dan Jakarta menjadi berita laris manis. Dunia pun menyatakan bela sungkawa mendalam, disertai dengan tanda #AgaintsTerorism, #Savetheworld. Pelaku media mainstream saat ini dapat dipahami akan lebih tendensius jika berkaitan dengan Islam dan Muslim.
George W Bush, mantan presiden Amerika Serikat periode 2001-2009, pernah keseleo lidah dengan menyatakan "perang salib" saat runtuhnya gedung simbol kapitalis dunia WTC dan Pentagon. Pernyataan Bush senada dengan Menhan AS Donald Rumsfeld, yang berkali-kali menuduh pemerintahan Saddam Hussein berhubungan 'gelap' dengan Osama bin Ladin dan dengan digempurnya kekuatan Islam militan di sebuah kota di Iraq dengan alasan bahwa mereka adalah 'patner' Taliban. Menurut Charles E. Carlon dalam "Attacking Islam" seperti dikutip The New American Magazine, mengatakan bahwa kampanye kebencian anti-Islam selalu di lansir oleh media-massa yang sepenuhnya berada di bawah kontrol kelompok Yahudi.
Artikel-artikel di media-cetak, buku-buku, acara entertainment TV, film, dan diskusi, mulai memunculkan gambaran tentang orang Arab dan masyarakat Muslim sebagai masyarakat yang culas, tidak dapat dipercaya, tidak menghormati hukum, melecehkan wanita, dan sebagainya yang isinya meracuni pendapat umum masyarakat dunia dan terutama sekali pikiran masyarakat awam Amerika. Sehingga istilah Radikal, Ekstrim, Militan dan Teroris melekat pada kelompok Islam yang akhirnya di anggap "musuh manusia beradab".
Finally, Kita kembali ke pelataran. Dari uraian singkat diatas nampaknya mulai sedikit memberi jawaban, kemana perginya media saat Reuni yang terjadi di Pelataran Monas dan saat Pidato Prof. Marc Lamount Hill di Markas Besar PBB. Ya, kita harus menerima kenyataan bahwa hampir tidak ada media yang meliput kejadian di pelataran yang dipadati jutaan ummat Islam yang menuntut keadilan ditegakkan terkhusus dalam ranah politik.Â
Dan kita juga menerima kenyataan bahwa, seorang aktivis Hak Asasi Manusia yang juga kontributor salah satu Media ternama di Amerika Serikat, dipecat karena menyuarakan keadilan bagi ummat Islam di Palestina. Sekiranya dari dua kenyataan ini cukup menguatkan tulisan Samuel Huntington dan Francis Fukuyama diatas, bahwa : ...especially Islamic and Western civilizations have more likely to be clashed because Islam is the only civilization that aspires universalist values and poses a significant challenge to the West.
Semoga dapat membuka mata kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H