Saya awali tulisan ini dengan sebuah pernyataan menarik dari seorang ilmuwan terkenal, Francis Fukuyama, terkait demokrasi. Ia mengatakan bahwa:
....At the end of history, there are no serious ideological competitors left to liberal Democracy. In the past, people rejected liberal democracy because they believed that it was inferior to monarchy, aristocracy, theocracy, fascism, coommunist, totalitarianism, or whatever ideology they happened to believed in, but now, outsided the Islamic world, there appears to be a general consensus that accept liberal democracy's claims to be the most rational form of government, that is, the state that realizes most fully either rational desire or rational recognition. (Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man: 1992).
Terjemahannya kurang lebih seperti ini, "Bahwasanya di akhir sejarah tak ada lagi kompetitor serius yang tersisa bagi demokrasi liberal. Di masa lalu, orang-orang menolak demokrasi liberal karena mereka meyakini bahwa democrasi liberal merendahkan sistem monarki, aristokrasi, theo-krasi, fasisme, komunis, totalitarianisme, atau ideologi apapun yang mereka yakini, tapi sekarang, di luar dunia Islam, muncul konsensus umum yang menerima demokrasi liberal yang diakui sebagai bentuk paling rasional dalam pemerintahan, oleh karena itu, negara menyadari demokrasi liberal paling lengkap berdasarkan keinginan atau pengakuan yang rasional."
Perihal demokrasi, Fukuyama mengadopsi pendapat Samuel Huntington, tentang perlunya proses sekularisasi sebagai prasyarat demokrasi. Karena itu, ketika Islam dipandang tidak cocok dengan demokrasi, maka dunia Islam juga tidak kondusif bagi penerapan demokrasi yang bersifat sekular sekaligus liberal (Tohir Bawazir, Jalan Tengah Demokrasi: 2015).
Pembahasan demokrasi memang menjadi menarik ketika berhadapan negara yang di dalamnya ada Islam. Di Indonesia contohnya, yang mayoritas penduduknya bergama Islam, saat ini tengah dirundung konflik yang sebetulnya telah mengakar sejak detik-detik kemerdekaan. Konflik yang dimaksud ialah berkaitan dengan ideologi. Ya, lagi-lagi memang antara nasionalis sekuler dan nasionalis Islam. Perdebatan kedua ideologi ini yang mewarnai perumusan dasar negara yakni Pancasila.
Dengan jumlahnya yang mayoritas dan peranannya yang panjang dalam memperjuangkan kemerdekaan negara Indonesia, umat Islam berusaha agar negara Indonesia yang merdeka, adalah negara yang menjadikan Islam sebagai dasar negara, atau menjadi agama resmi negara, sehingga Indonesia menjadi negara yang adil dan makmur di bawah naungan ridha Allah Swt. Sebelum kedatangan penjajah, kerajaan-kerajaan Islam di nusantara juga telah menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Para pahlawan Islam yang berjuang untuk mewujudkan sebuah negeri merdeka yang menerapkan ajaran Islam.Â
Para ulama terus-menerus memberikan dorongan dan semangat untuk melakukan Perang Sabil melawan penjajah. Sebagai contoh, perjuangan Syekh Yusuf al-Maqassari (1037-1111 H/1627-1629 M), Syekh Abd al-Shamad al-Palimbani (1704-1789 M), Pangeran Diponegoro (1825-1830 M), dan perjuangan pemimpin tertinggi umat islam Indonesia tahun 1945, saat kembalinya penjajah Belanda untuk merebut kemerdekaan, KH Hasyim Asy'ari. Semua perjuangan tersebut faktanya beranjak dari semangat memperjuangkan cita-cita kehidupan islam, baik dalam tataran pribadi, keluarga, masyarakat, dan negara (Lihat Adian husaini,Mewujudkan Indonesia Adil dan Beradab: 2015, p. 1-9).
Terkait perdebatan yang disebutkan diatas antara nasionalis sekuler dan nasionalis Islam, barangkali perlu dicermati salah satu momen kedua kubu ini. Sebuah perjumpaan dan pertukaran pemikiran penting pada tahun 1940, antara Soekarno (nasionalis sekuler) dengan A. Hasan (nasionalis Islam), seputar hubungan antara Islam dan Negara.Â
Soekarno ketika itu sudah menjadi aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia dan bergelar Insinyur, lulusan Techniche Hogeschool (TH) Bandung. Sedangkan A. Hassan adalah seorang ulama pembaharu pendiri persatuan Islam, dan juga guru Mohammad Natsir.
Dalam majalah "Pandji Islam" nomor 12 dan 13 tahun 1940, Soekarno menulis sebuah artikel berjudul "Memudakan Islam", yang isinya memuji sekularisasi yang dijalankan Musthafa Kemal Attaturk di Turki. Singkatnya dalam artikel tersebut, Soekarno mengatakan bahwa:
..."manakala agama dipakai buat memerintah masyarakat-masyarakat manusia, ia selalu dipakai sebagai alat penghukum ditangannya raja-raja, orang-orang zalim dan orang-orang tangan besi. Manakala zaman modern memisahkan dunia dari banyak kebencanaan, dan ia memberikan kepada agama itu singgasana yang maha kuat di dalam kalbu kaum yang percaya"...
Kesimpulan Soekarno adalah : buat keselamatan dunia dan buat kesuburan agama, bukan untuk mematikan agama itu, urusan dunia diberikan kepada pemerintah, dan urusan agama diberikan kepada yang mengerjakan agama. "geef den Keizer wat des Keizers is, en god wat Godes is", kata Soekarno mengutip Bibel.
Tokoh Islam A. Hassan mengkritik keras pandangan Soekarno tentang kedudukan agama dan negara tersebut. Di majalah yang sama ia menulis artikel berjudul "membudakkan Pengertian islam". Hassan menyebut logika Soekarno sebagai "logika otak lumpur". Menanggapi perihal kedudukan negara dan agama yang dipaparkan Soekarno dalam artikel tersebut, A. Hassan menulis :
..."Kalau raja-raja, orang zalim, dan orang-orang bertangan besi menggunakan agama Islam sebagai alat penghukum -- katakanlah dengan cara yang zalim -- maka dapatkah ini berarti bahwa agama itu tidak mampu menjadi hukum negara, atau memang merupakan hukum yang tidak adil ?"...
Selain itu, menurut A. Hassan, penggunaan untuk memisahkan urusan negara dan urusan agama adalah alasan "sontoloyo". Dalam lanjutan tulisannya ia mengatakan bahwa:
... "saudara Ir. Rupanya tidak atau belum mengetahuinya, bahwa bencana dunia yang sebegini banyak datangnya justru dari negara yang tidak menggunakan agama sebagai hukum positif. Kalau negara diurus secara atau menurut agama, niscaya selamatlah dunia dari segala bencana."... (lihat M. Thalib dan Haris Fajar, Dialog Bung Karno-A. Hassan: 1985, p. 25-28, 75-78).
Salah satu momen dalam sejarah tersebut yang memperlihatkan adanya pergolakan sengit antar ideologi (Islam dan sekularis), menyiratkan makna bahwasanya apa yang dikatakan oleh Samuel Huntington di atas memang beanar adanya. Ajaran Islam yang komprehensif meliputi seluruh aspek kehidupan, individu, keluarga, masyarakat dan negara, dengan dasar ke-tauhid-an kepada Allah, Tuhan Yang maha Esa, tidak pernah bisa menerima apapun yang berupa "pemisahan".Â
Karna pemisahan pada hakikatnya adalah pengingkaran, dan pengingkaran, adalah bagian dari kekufuran. Demokrasi yang bermakna kedaulatan rakyat dalam negara perlu diluruskan terlebih dahulu jika ingin dibumikan di bumi Indonesia, bumi yang dijajaki oleh manusia-manusia yang hampir keseluruhan menganut agama islam, dan menjadi api semangat bagi manusia-manusia tersebut dalam mengusir penjajahan di negeri ini. Wallaahu a'lam bishshawab
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI