Mohon tunggu...
Mursiding
Mursiding Mohon Tunggu... Freelancer -

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Occidental Studies, Tentang Worldview Islam dan Problematika Sains

18 Desember 2018   00:09 Diperbarui: 18 Desember 2018   00:12 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Worldview atau pandangan hidup sering diartikan filsafat hidup atau prinsip hidup. Setiap kepercayaan, bangsa, kebudayaan atau peradaban dan bahkan setiap individu mempunyai worldview masing-masing. Pandangan hidup setiap bangsa, kebudayaan atau peradaban dan individu akan berbeda satu sama lain tergantung faktor dominan dari yang berasal dari kebudayaan, filsafat, agama, kepercayaan, tata nilai sosial dan lain-lain yang mempengaruhi karakter individu, budaya, peradaban dan bangsa tersebut.

Islam sebagai sebuah peradaban sudah tentu memiliki worldviewatau pandangan hidup. Dalam tradisi Islam terma khusus untuk pengertianworldview disebutkan dalam istilah yang berbeda-beda. Maulana al-Mawdudi mengistilahkannya dengan Islami nazariyyat, Sayyid Qutb menggunakan istilah al-Tasawwur al-Islami, Muhammad 'Atif al-Zayn menyebutnya al-mabda' al-Islami, Syed M. Naquib al-Attas menamakannya Ru'yatul Islam lil wujud (Islamic Vision of Existence) yang jika diterjemahkan dalam bahasa inggris menjadi The WorldView of Islam.[1] 

Terdapat kesamaan konsep antara worldview dengan paradigma,keduanya merupakan seperangkat keyakinan-keyakinan dasar yang berhubungan dengan yang pokok dan prinsip. Karena worldview, berkaitan dengan proses penalaran seseorang dalam menghasilkan suatu ilmu pengetahuan, maka ia dapat berfungsi dan berperan dalam membentuk paradigma keilmuan atau perangkat keyakinan dasar yang berguna bagi pengungkapan hakikat ilmu yang sebenarnya dan cara-cara untuk mendapatkannya. 

Baik worldview ataupun paradigma, keduanya mengandung konsep-konsep yang berpengaruh dalam memandang realitas dan penemuan pengetahuan. Bagi al-Attas pandangan hidup (worldview) dengan aspek-aspeknya yakni konsep Tuhan, konsep realitas, konsep ilmu, konsep etika atau nilai dan kebajikan dan konsep tentang manusia, itu berperan dalam menafsirkan apa makna kebenaran (truth) dan realitas (reality).[2] Sebab dalam menentukan apakah sesuatu itu benar dan riel tergantung kepada sistem metafisika masing-masing yang terbentuk olehworldview.

Paradigma berkaitan erat dengan cara pandang seseorang terhadap realitas alam nyata. Cara pandang tersebut meliputi pengamatan terhadap realitas dengan upaya mencari kebenaran. Islam dengan worldview yang syarat dengan aspek ketuhanannya (metafisika), memandang realitas alam nyata (fisik) dengan merujuk kepada realitas metafisik. Berbeda dengan Barat yang menolak aspek ketuhanan dan mengandalkan empirisme dalam mencari kebenaran. Kaitannya dengan sains, sebagaimana yang dipahami bahwa sains lahir dari cara pandang manusia terhadap realitas alam dengan metode observatif sehingga melahirkan disiplin ilmu pengetahuan. Perbedaan Barat dan Islam yang mencolok terletak pada persoalan ini.

Perbedaan cara pandang tersebut tentunya menimbulkan konsekuensi yang berbeda pula. Barat dengan metode rasional dan empirisnya hanya menjangkau aspek fisik dari alam dan berhenti ketika sampai dalam aspek metafisika. Sehingga ilmu pengetahuan yang dihasilkan pun terpisah dari aspek metafisika itu juga. Berbeda dengan Islam yang syarat akan aspek itu, bahkan sebagai dasar dari aspek yang lainnya. Sehingga cara pandang Islam menghasilkan sains yang tak terlepas dari unsur ketuhanan (spiritual). 

Contoh sederhana, penelitian tentang alam semesta, yang mengabaikan aspek metafisik akan berkesimpulan bahwa alam semesta tercipta dengan evolusi yang panjang dengan proses lama, terjadi ledakan kemudian berpencar dan lain sebagainya, dan berahir dengan hasil bahwa alam semesta hadir dengan sendirinya dengan gejala alamiah. Sedangkan bagi yang meyakini aspek metafisika, akan menemukan kesimpulan akhir bahwasanya alam semesta diciptakan oleh Tuhan dengan tahapan yang ia kehendaki dan mampu diterima oleh rasio.

Paradigma yang berbeda terkait sains itu sebetulnya secara kompleks kita temui di zaman ini, dimana hampir seluruh disiplin ilmu pengetahuan memperlihatkan corak rasionalisme-empirisme. Contohnya saja dalam disiplin ilmu ekonomi yang menjelaskan tentang kebutuhan manusia, yakni primer, sekunder dan tersier. Yang termasuk kebutuhan primer adalah sandang, pangan dan papan. Jika ditelaah lebih mendalam, manusia pada hakikatnya kebutuhan utamanya adalah kebutuhan rohani (jiwa) dan kebutuhan fisik hanya sebagai kebutuhan pendukung. Hal ini yang diajarkan dalam Islam oleh sebabnya maka diwajibkan puasa yang notabene larangan makan dan minum demi kebutuhan rohani yakni sebagai ibadah dan sekaligus menekan hawa nafsu yang dengan cara seperti ini manusia pada hakikatnya akan terlihat perbedaanya dengan binatang.

Dari gambaran singkat diatas nampaknya sangat jelas paradigma yang mana yang lebih baik. Yang membawa kedamaian ataukah yang membawa keresahan. Karna sudah pasti tak ada kata damai jika setara dengan binatang yang notabene saling mencakar dan memangsa satu sama lain, tak peduli kawan ataupun lawan. Setidaknya inilah potret kehidupan manusia zaman ini yang hampir seluruhnya mempunyai pemahaman dan cara pandang yang materil dan pola pikir dikotomis. Tak terelakkan lagi bagaimana hasil dari paradigma yang rasional empiris kemudian melahirkan ilmu pengetahuan untuk membimbing manusia itu sendiri malah menggiring kearah kehancuran peradaban.

Inilah momentum bagi Islam untuk mengembalikan kejayaan peradaban ilmu pengetahuan di masa lalu yang telah direbut dan disulap menjadi ilmu pengetahuan yang menolak konsep ketuhanan. Paradigma sains Islam adalah solusi bagi kebiadaban sains modern saat ini. Tantangan pasti ada, sebagaimana pandangan Adi Setia; tantangan terbesar ahli sains Muslim saat ini adalah agenda penelitian tajribi/amali/empiris dengan metode observatif sebagai salah satu sifat dari Sains Islam yang tentunya berdasarkan kepada konsep metafisika (ketuhanan). Jika tantangan ini gagal diharungi, maka semua ahli sains Muslim akan terperangkap dalam kerangka konsep dan penelitian sains Barat modern sekular. Sadar atau tidak, betapapun tingginya pemahaman terkait Sains Islam, tanpa agenda penelitian tajribi/amali/empiris, gagasan Sains Islam tersebut akan kekal sebagai gagasan intelektual, ilmiah dan akademik semata-mata, sekadar memuaskan keingintahuan budaya, yang hasilnya sekadar dibukukan dan disimpan di perpustakaan atau musium, tanpa menjelma secara praktis sebagai ilmu yang bermanfaat di dunia nyata saat ini.[3] Dengan kata lain, hal ini merupakan kelemahan dari Sains Islam saat ini jika dibandingkan dengan Sains Barat yang "tersohor" dengan empirismenya.

Kebangkitan peradaban Islam adalah adalah satu-satunya alternatif untuk menuai krisis peradaban saat ini. Hal ini bukan hanya slogan fanatik, tetapi memang patut dibenarkan mengingat perjalanan panjang peradaban Islam yang pernah mencatat momentum kejayaan dalam segala aspek, sosial, ekonomi, politik, dan ilmu pengetahuan. Hanya saja perjalanan sejarah tak sepenuhnya manis, kemunduran peradaban Islam yang disebabkan berbagai faktor yang salah satunya adalah dari luar Islam yakni "kebencian" Barat yang kemudian melahirkan era kebangkitan barat "Translate Ages". Dinamakan "Traslate Ages" atau era transliterasi karna pada era itu ilmu-ilmu pengetahuan Islam oleh Barat diterjemahkan kedalam bahasa latin dan kemudian dikembangkan dengan tidak menyebutkan pemilik hak ciptanya.

Peradaban Islam yang khas akan Worldview nya yang berakar dari wahyu harus diimplementasikan kedalam segala lini kehidupan termasuk sains. Jika sains dengan segala konsep dan metodologisnya berakar dari kebenaran yang absolut yakni Tuhan maka sejatinya sains itu akan menambah keimanan manusia yang berujung pada terciptanya kedamaian dalam hidup. Tidak seperti sains yang berkembang saat ini yang didalamnya menafikkan unsur spiritual yang bermuara pada menciptakan manusia materialistik, individualistik, dan hedonis.

[1] Hamid Fahmi Zarkasyi, Islamic Worldview: Sebagai Paradigma Sains Islam, dalam Islamic Science: Paradigma, Fakta dan Agenda, Cet. 1 (Jakarta: INSISTS,2016) h. 5

[2] Hamid Fahmi Zarkasyi, ISLAMIC WORLDVIEW.....h. 13

[3] Adi Setia, Pengertian Sains Islam dalam Islamic Science: Paradigma, Fakta dan Agenda, Cet. 1 (Jakarta: INSISTS,2016) h. 49-50

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun