Mohon tunggu...
A. Rohmat
A. Rohmat Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[Bonenkai] Anti Sosial atau Karakter?

8 Desember 2015   19:58 Diperbarui: 8 Desember 2015   20:29 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Bonenkai Kanpai"][Bonenkai Kanpai]

[Pengantar] Pernahkah Anda mendengar sesuatu tentang Bonenkai? jika sudah bersyukur, dan jika belum ayo ikut disimak, hehe. Menurut pendapat diri sendiri, Bonenkai merupakan acara pesta tahunan setiap perusahaan dalam rangka sebelum menutup akhir tahun. Dibalik itu, istilahnya mungkin bisa dibilang "Mengikat tali silaturahmi". Sepertinya, kegiatan tersebut merupakan kegiatan wajib. Contohnya, Perusahaan di tempat saya sedang menjalankan kerja part time setiap orang ditanya oleh saya dengan pertanyaan yang sama. "Apa Bonenkai setiap tahun selalu digelar?". "Iya", semua jawaban sama.

Namun sebenarnya, bukan maksud dan tujuan dari "Bonenkai" yang akan saya bahas. Yang akan saya coba bahas di sini ialah dari segi sosialnya. Yosh.

[Opening] Kemarin (15/12/5) saya mengikuti kegiatan Bonenkai yang digelar Perusahaan. Bertempat di セラヴィ 宇都宮市曲師町1-7(Seravi. Utsunomiya, Jl Mageshi 1-7). Masalah bagusnya itu tempat sudah jangan ditanya lagi. Sudah tempatnya bagus, makan dan minum sampai kenyang, terlebih semua biaya ditanggung Perusahaan lagi. Haha, disitu saya bersyukur sekali. Disana disediakan berbagai makanan dan minuman. Pelayan hanya menunggu sajian yang dimakan oleh kita sampai habis, dengan otomatis mereka akan mengambil kembali makanan yang baru. Tentunya, bir, sake, dan wine adalah minuman wajib disetiap pesta.

Saat itu, saya dan teman saya asyik mengobrol dengan para Obasan yang join party. Datanglah sang Buchou (General Manager) dan Staff Perusahaan. Di dalam satu meja kami asyik mengobrol membahas masalah bahasa - bahasa di dunia. Terlebih disaat pesta sebelum digelar, saya mewakili dari pihak Indonesia untuk berpidato di depan semua Atasan-atasan perusahaan dan keluarganya dan bisa mengobrol asyik ria tanpa memikirkan jabatan dengan sang Buchou. Dua hal itu merupakan "A Great Honor and Great Moment" sekali untuk saya. Sebenarnya bahasan mengenai bahasa ini bukan suatu hal yang menarik. Dan saya juga sebelumnya belum pernah sama sekali mengobrol dengan sang Buchou. Tetapi, karena sang Buchou bahasa Internasional saja sudah botak, dia memohon kepada saya untuk mengajarkannya bahasa Inggris. Bahkan beliau memanggil saya dengan julukan "Sensei" yang diartikan menjadi "Guru". Jika dibayangkan, seperti anak kecil yang manja minta dibelikan permen. Malu? Tentu. Dan juga saya tidak sendiri. Ada satu Obasan lagi yang jago bahasa Italia dan bahasa Korea. Karena Obasan ini saat dulu muda pergi ke Negara tersebut untuk main. Keren? Badai coi.

Saat kami asyik mengobrol, datanglah satu persatu staff dan pegawai perusahaan ke meja kami. Bukan apa-apa, hanya ingin menuangkan bir ke gelas yang kosong. Karena sesuai tradisi Jepang, jika gelas kosong harus diisi kembali. Baik itu bir, wine, ataupun sake. Dan orang yang dituju juga harus menerima tawaran tersebut. Jika tidak, dianggap tidak sopan. Dan terpaksa saya harus menerima tawaran tersebut. Salah satu pegawai saat itu mungkin dalam keadaan setengah mabuk. Karena cara dia menunangkan bir ke dalam gelas hanya bisa dilakukan oleh orang dewasa, hahaha. Ya seperti itulah. Di sana kami mengobrol sebentar.

Saat sang Buchou ke toilet, saya kembali ke meja saya. Baru saja saya singgah, datanglah staff laki-laki yang tinggi putih ke meja. Biasa, tiada lain dan tiada bukan mengajak saya untuk mengobrol. Padahal sebelumnya, saya TIDAK PERNAH SAMA SEKALI mengarahkan kata-kata yang keluar dari mulut saya untuknya. Tetapi, disitu seolah-olah kami sudah dekat seperti teman. Kami mengobrol sampai makanan tidak disajikan kembali oleh sang Pelayan. Dan juga satu persatu Atasan, Staff, dan Pegawai mulai meninggalkan tempat romantis itu. Dan sampailah sampai kami pulang ke istana masing-masing.

[Inti] Tibalah hari senin (12/7) dimana kita harus kembali kerja seperti biasanya. Atmosfir seperti apa yang timbul setelah pesta? hanya seperti biasa seolah tidak pernah terjadi apapun. Kecuali satu pertanyaan yang sama. "Tanoshikatta?", (Senang?). Begitu juga dengan sang Buchou, Staff dan Pegawai yang lain dimana sebelumnya kami mengobrol ria, di tempat kerja semuanya kembali normal seperti disaat saya pertama datang ke perusahaan. Ya bisa disamakan dengan orang yang belum saling kenalan satu sama lain saja. Sungguh pemandangan yang menakjubkan dan istimewa yang pernah saya alami. Dimana di Negara tercinta saya, jika sudah kejadian seperti itu, maka hari berikutnya tidak akan seperti ini. Kaget? tidak yokatta.

Satu pertanyaan yang timbul di pikiran saya setelah kejadian ini. Apa memang manusia Jepang seperti ini atau karena karakter pribadi? atau dibilang karakter turun-temurun? hingga saat ini pertanyaan tersebut masih tertancap power glue diingatan saya.

Jika disebut "Karakter" bisa saja. "Anti sosial" pun sama. Karena setiap hari saya melihat tingkah laku orang-orang di Negeri 4 musim ini. Dari penilaian yang diambil dari pemikiran hasil sendiri, mereka memang memiliki sikap yang cuek terhadap orang lain. Salah satu contohnya dari segi fashion. Memang di sini mode mode busananya termasuk yang paling oke. Harganya pun tidak main-main. benar-benar disesuaikan dengan tingkat kualitas barang tersebut. Maka, istilah "Harga tidak pernah Bohong", benar-benar terpakai. Di sini, mau gaya seaneh apapun, baik itu fashion, make up, gaya rambut, satu orang pun di sekitarnya hanya cuek. Bahkan nenek ataupun kakek-kakek pun di sini selalu tampil fresh bak model. Menurut saya itu merupakan pemandangan yang aneh dan luar binasa. Karena di Negara tersendiri belum pernah melihat hal yang seperti itu.

Setelah saya melihat dengan baik dengan seksama keadaan sekitarnya, memang tidak pernah satupun yang membicarakan orang dengan pakaian yang aneh. Karena wajah yang sedang membicarakan orang lain sudah bukan hal yang asing untuk saya. Kalimat yang terbentuk dari kejadian ini ialah "Tidak mau mementingkan urusan orang lain".

Setelah kejadian ini dan itu hingga saat ini saya masih belum bisa mengambil kesimpulan. Karena saya juga terpaku karena data dan bahasa saya yang masih belum terlalu lancar. Karakter kah? Anti Sosial kah? yang pasti jika salah satu diantaranya sudah bisa terjawab, akan saya posting kembali di postingan yang selanjutnya dengan judul dan bahasan yang sama.

Sekian, terima kasih.

A. Rohmat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun