Saya sempat heran melihat seorang teman yang tiap hari keluar masuk mal. Toko-toko yang dia kunjungi mayoritas pejual barang-barang mahal atau bermerek mewah. Dia rajin mengambil foto, mengunggahnya ke Instagram dan menginformasikan diskon (promo) terbaru.
Usut punya usut, banyak orang  menggunakan jasanya membeli barang mahal dari mal kemudian mengirimkannya lewat jasa kurir atau ekspedisi. Semua kliennya tinggal di luar Jakarta.
"Mengapa mereka tidak belanja di toko online?" tanyaku suatu kali.
Rupanya untuk keaslian barang, warna, ukuran yang diinginkan dan berbagai detail lain, banyak orang lebih nyaman menggunakan jasa pihak ketiga daripada belanja langsung di toko online. Demikian keterangan temanku.
"Komunikasi dengan penyedia barang di toko online tak bisa seintensif komunikasi denganku," tambahnya. Saya semakin paham kenapa tersedia ceruk pasar untuk jasa yang dia tawarkan di tengah booming belanja online sekarang ini.
Bisnis yang digeluti temanku itu sebelumnya kita kenal dengan istilah personal shopper. Kadang disebut juga personal buyer. Pengguna jasa seperti itu mayoritas sosialita yang membutuhkan barang-barang mewah dari luar negeri untuk mendukung gaya hidup mereka.
Sekarang masyarakat biasa juga rupanya telah menggunakan jasa seperti itu dan kita mengenal istilah baru, yakni jastip atau jasa titipan. Internet membuat bisnis yang dulu lebih bersifat person to person menjadi aktivitas ekonomi masif.
Temanku itu bercerita, sebagian besar kliennya sekarang adalah orang-orang yang tidak dikenalnya secara pribadi. Hanya bermodalkan promosi di Instagram, kemudian berlanjut dengan pembicaraan intensif di WhatsApp, dia bisa meraih keuntungan hingga puluhan juta rupiah per bulan.
Saya mencoba menggali informasi lebih banyak tentang bisnis baru ini. Dengan mengetik kata kunci "jasa titip" di menu search Instagram, ratusan akun yang menawarkan jasa sejenis bermunculan. Beberapa akun bahkan terhubung dengan website perusahaan resmi.
Mayoritas menawarkan jasa titip-menitip barang dari luar negeri. Ada spesialis negara tertentu, tetapi ada juga yang menawarkan jasa pembelian barang dari berbagai negara.
Dunia digital memang membuka banyak peluang yang sebelumnya tak pernah kita pikirkan. Keuntungan-keuntungan kecil yang sebelumnya tidak dilirik orang tiba-tiba menjadi ladang menggiurkan setelah perangkat digital mengubahnya menjadi pasar besar.
Sebagai gambaran, bulan lalu Kompas.com melaporkan bahwa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai telah menindak 422 jastip karena melanggar prosedur impor barang dari luar negeri.
Salah satu kasus yang menyita perhatian adalah aktivitas penyedia jasa titipan yang sengaja memecah barang-barang klien mereka ke 14 orang pembawa barang untuk menghindari bea impor.
Dengan membuat perhitungan sederhana biaya tiket pulang-pergi perjalanan luar negeri, akomodasi dan berbagai biaya lain untuk 14 orang pembawa barang tersebut, kita bisa mendapatkan gambaran awal besaran keuntungan yang didapatkan penyedia jastip ini.
Kritik terhadap bisnis baru ini memang mulai marak, tapi masyoritas menyangkut prosedur mendatangkan barang dari luar negeri yang kerap dilanggar. Untuk itu pemerintah perlu segera menyiasatinya dengan lebih baik tanpa merusak iklim pertumbuhan bisnis baru ini.
Yakinlah, ke depan ceruk pasar bisnis baru ini akan semakin besar dan tidak tertutup kemungkinan akan menjadi salah satu motor penggerak ekonomi.
Selanjutnya: Untung Berlipat Bisnis Jastip Domestik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H