Berbagai komentar sinis di media sosial terhadap Menko Polhukam Wiranto yang sedang ditimpa kemalangan mengindikasikan bahwa fragmentasi masyarakat jauh lebih memprihatinkan dari yang kita duga selama ini.Â
Bukannya bersimpati kepada pejabat publik yang menjadi korban kekerasan bermotif radikalisme, beberapa warga justru memunculkan prasangka-prasangka tak berdasar. Wiranto tidak sendirian dan bukan korban pertama dari kekejian akibat tumpulnya nurani sebagian masyarakat terhadap orang yang sedang tertimpa kemalangan.
Almarhumah Ibu Ani Yudhoyono juga sempat menjadi sasaran keganasan para pengguna medsos ketika sedang dirawat di rumah sakit. Demikian juga dengan Novel Baswedan dan kasus yang juga relatif baru adalah Ninoy Karundeng.Â
Mengapa banyak orang bisa menjadi sedemikian sadis menghakimi, menuduh dan menyudutkan orang-orang yang tengah ditimpa kemalangan yang semestinya diberi simpati dan dukungan moral?
Kebenaran Afiliatif
Di luar persoalan etis-moral, kasus perundungan di media sosial kepada orang-orang yang tengah tertimpa kemalangan merupakan puncak gunung es dari keterbelahan masyarakat. Para politisi layak dipersalahkan atas persoalan akut ini.Â
Penggunaan sentimen-sentimen yang menggugah emosi dalam berbagai kampanye politik telah memperdalam keterbelahan masyarakat dan meninggalkan luka yang tak sepenuhnya sembuh kendati Pemilu, Pilpres atau Pilkada telah berakhir.
Kendati para elit yang bersaing di musim Pemilu telah melakukan berbagai upaya rekonsiliasi, psikologi politik masyarakat akar rumput tidak serta merta bisa dikembalikan pada kondisi semula (normal).Â
Maka sinisme kepada Wiranto dan tokoh lain yang tengah ditimpa kembalangan dapat dibaca sebagai residu dari luka yang belum sembuh total tersebut. Untuk lebih jelas, kita dapat memahami fenomenan ini melalui konsep "kebenaran afiliatif" (affiliative truth) yang diulas secara mendalam oleh Ignas Kalpokas dalam buku terbarunya (2018).
Pendekatan-pendekatan politik di era digital, menurut Ignas Kalpokas, sebagian besar dioperasikan dengan mempertajam perbedaan antar komunitas atau antar kelompok orang-orang terafiliasi. Media sosial memberi banyak kemudahan untuk mempertemukan orang-orang yang memiliki afiliasi serupa atau sejenis.
Orang-orang yang memiliki kesamaan dalam afiliasi politik, agama, idiologi atau minat kemudian digugah melalui pendekatan emosial oleh para politisi sehingga terbentuklah kelompok pendukung atau kelompok penentang tokoh tertentu.Â
Eksklusifitas kelompok ini dirawat melalui informasi-informasi yang telah terdistorsi dan media sosial lagi-lagi mempermudah modifikasi informasi agar sesuai dengan kepentingan, pandangan dan selera kelompok tertentu.
Dalam perjalanannnya, orang-orang semakin terikat secara emosial dengan kelompok yang terafiliasi dengan mereka. Maka orang-orang mengakui kebenaran sebuah informasi hanya jika informasi tersebut dapat menunjukkan superioritas kelompok yang terafiliasi dengan mereka; atau hanya jika informasi tersebut dapat mendegradasi kelompok lain yang bertentangan dengan kelompok mereka.
"It is true because we want it to be true" kutip Ignas, menggaungkan kembali slogan utama  teori post-truth. Kebenaran menjadi urusan selera dan fakta-fakta objektif tak penting lagi. Di Indonesia persoalan semakin rumit karena upaya-upaya merawat eksklusifitas  kelompok-kelompok terafiliasi tersebut tidak lagi dilakukan oleh politisi (karena musim Pemilu telah berakhir) tetapi oleh masyarakat itu sendiri.Â
Maka serangan verbal kepada Wiranto dan tokoh-tokoh lain yang tengah ditimpa kemalangan, dalam kerangka teori ini, dilakukan untuk terus menggugah emosi kelompok-kelompok eksklusif tersebut sehingga terus berjuang mempertahankan keberadaan mereka.
Banyak orang telah terikat sedemikian kuat secara emosial terhadap kelompok afiliasi mereka yang diciptakan para politisi untuk kepentingan politik. Ikatan emosional yang kuat tersebut mengalahkan gaung nurani kemanusiaan untuk bersimpati kepada siapapun yang menjadi korban kekerasan atau tengah dirundung kemalangan.Â
Jika pemerintah tidak menangani persoalan ini secara serius maka  tidak tertutup kemungkinan kejadian serupa akan terulang kembali dan bisa jadi Wiranto juga bukan yang terakhir.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI