Sedang menunggu dekat kamar jenazah ketika seorang anak datang ke arahku sambil tersenyum. Baunya wangi melati. Hanya mendekati saja, tidak ada pembicaraan di antara kami.Â
Kupikir sama denganku menunggu sesuatu dari ruang yang sama denganku.Â
Aku menunggu di sini karena orang tua siswaku, belum datang.Â
Aku berniat -- ketemu di sini saja sekalian menyampaikan turut berdukacita.Â
Sejenak kemudian, datanglah orang tua siswaku. Aku menyambutnya sambil memeluk -- menguatkan jiwa raganya.Â
Setelah tenang, aku permisi karena masih harus ke bangsal lain -- tempat tetanggaku dirawat.
Aku mendapat amanah untuk segera menyampaikan dana bantuan untuk biaya operasi.Â
Di pintu itu, anak yang tadi sudah di sana.Â
"Bisa minta tolong, sampaikan amplop ini ke ibu itu.. "
Lha, kok yang ditunjuk tetanggaku. Ada hubungan apa bocah ini dengan tetanggaku?Â
Salahku di sini. Bukan bertanya siapa kamu -- malah menoleh ke tempat tetanggaku rebahan. Sekarang dia menghilang entah ke mana...Â
Yang membuatku kaget, suara anak itu jelas banget. Padahal keberadaannya di mana aku tak tahu.Â
Dia bilang --itu uang beneran, bukan daun. Coba saja dibuka Ibu yang baik dan cantik
Mana berani aku ge er, dia siapa? Aku juga tidak berani membuka.Â
Buka saja, biar mantap. Kalau sudah dibuka isinya, aku baru pergi...Â
Akhirnya amplop kubuka, isinya uang baru ratusan ribu. Entah berapa jumlahnya. Baunya bukan uang kertas dari bank. Tahu'kan aroma uang kertas dari bank wanginya bagaimana... Ini uang kertas harum melati. Apakah ini uang dari surga?Â
Aroma wangi itu menghilang, berarti dia sudah pergi... Uangnya beraroma duit yang sama dengan amplop bawaan ku.Â
Bagaimana cara menyampaikan ke tetanggaku? Aku takut uang berubah menjadi daun atau potongan kertas tanpa benang rahasia... Bisa buyar hubungan baikku dengan tetanggaku itu....Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H